Oleh: Widiya Hastuti
“kekerasan terhadap perempuan bukan hanya permasalahan perempuan, laki-laki terlibat di dalamnya. Mereka harus peduli untuk itu.”
25 November hingga 10 Desember diperingati sebagai 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP). Peringatan ini guna memerangi kekerasan terhadap perempuan. Awalnya dideklarasikan oleh Women’s Global Leadership pada 1991. Melalui 16 HAKTP perempuan menunjukan bahwa perempuan mendapatkan kekerasan karena gendernya bukan karena perilakunya dan itu harus diperangi. Di Indonesia, peringatan ini mulai dikampanyekan oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pada 2003.
Selama 16 hari tersebut merupakan hari-hari peringatan hak asasi manusia (HAM) Internasional. Dimulai dengan hari Tanpa Kekerasan terhadap Perempuan pada 25 November dan Hari Perempuan Pembela HAM pada 29 November. Hari AIDS, Penghapusan Perbudakan, dan Hari Penyandang Disabilitas berturut-turut mulai 1-3 Desember. Kemudian hari Sukarelawan pada 5 Desember, hari Tak Ada Toleransi bagi Pelaku Kekerasan Terhadap Perempuan pada 6 Desember, ditutup dengan hari HAM pada 10 Desember.
Tahun ini, Komnas Perempuan mengkampanyekan 16 HAKTP untuk mendesak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Melihat RUU PKS yang tak kunjung disahkan oleh dewan perwakilan rakyat (DPR) sedangkan kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat.
Catatan tahunan (Catahu) 2019 Komnas Perempuan menyebutkan sepanjang 2016-2018 jika dirata-rata terjadi delapan perkosaan terhadap perempuan tiap harinya. Itu hanya pemerkosaan saja, belum lagi dengan 8.291 kasus kekerasan seksual lainnya. Ditambah meningkatnya aduan kekerasan seksual selama pandemi. Dengan besarnya tingkat kekerasan seksual di Indonesia sudah seharusnya ada hukum khusus yang mengatur mengenai hal itu. 16 HAKTP menjadi momentum untuk mengingatkan pemerintah pentingnya perlindungan terhadap kekerasan seksual. Peran seluruh elemen masyarakat sangat penting untuk itu, baik laki-laki maupun perempuan.
Meskipun 16 HAKTP merupakan peringatan terhadap perempuan namun ini bukan hanya milik perempuan saja. Tiap manusia yang mengakui tentang HAM juga merupakan bagian dari 16 HAKTP. Karena pemenuhan hak terhadap perempuan merupakan bagian dari berdirinya HAM. Itu sebabnya 16 HAKTP ditutup dengan hari HAM sedunia.
Dalam kampanye 16 HAKTP dan proses dukungan penghapusan kekerasan seksual sangat dibutuhkan peran laki-laki. Ketika berbicara kesamaan hak, penghapusan kekerasan seksual ada subjek laki-laki dan perempuan di dalamnya. Perempuan dan laki-laki adalah pelaku aktif dari persoalan-persoalan tersebut. Untuk menyelesaikan permasalahan dari dua subjek tak dapat hanya dilakukan oleh salah satu subjek saja. Jika hanya perempuan yang terus menuntut penghapusan kekerasan terhadap perempuan atau penghapusan kekerasan seksual –mayoritas dilakukan laki-laki— hal itu tak lebih dari sebuah utopis belaka. Laki-laki harus turut andil di dalamnya.
Keterlibatan laki-laki dalam 16 HAKTP juga akan membantu mempermudah tujuan dari kampanye 16 HAKTP. Diakui maupun tidak, Indonesia masih sangat patriarki. Suara laki-laki masih jauh didengar dari suara perempuan di dalam masyarakat. Keterlibatan laki-laki dalam kampanye 16 HAKTP akan lebih mempengaruhi masyarakat yang telah terpatri budaya patriarki sejak dulu. Tentu bukan untuk melanggengkan budaya patriarki tersebut.
Sayangnya, keterlibatan laki-laki dalam 16 HAKTP masih sangat kecil. Terbukti dari tagar yang disarankan Komnas Perempuan sebagai kampanye 16 HAKTP di media sosial diantaranya #GerakBersama, #SahkanRUUPKS, dan #JanganTundaLagi masih sedikit laki-laki yang ikut di dalamnya. Begitu juga kampanye langsung 16 HAKTP. Sudah saatnya laki-laki peduli pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan seksual, terlebih jika ia mengaku percaya HAM.