BOPM Wacana

Gadis Pantai, Kontradiksi Feodalisme Jawa

Dark Mode | Moda Gelap
Foto Ilustrasi : Putra P Purba

 

Oleh: Widiya Hastuti

Judul Gadis Pantai
Penulis Pramoedya Ananta Toer
Penerbit Lentera Dipantara
Tahun Terbit Desember 2017 (cetakan ke 12)
Tebal 270 Halaman

 

“Mengerikan Bapak, mengerikan kehidupaan priyayi ini. Seganas-ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi. Ah tidak, aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedungnya yang berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan,”— Mas Nganten (Pramoedya Ananta Toer)

Seperti novel Pramoedya Anantatoer kebanyakan, kali ini ia kembali menggunakan konsep Realisme Sosialis pada karya sastranya. Pram, menggambarkan bagaimana kehidupan feodalisme pada zaman kolonial di Jawa. Melalui Gadis Pantai, Pram menunjukan kembali perbedaan bahasa, pengaruh, dan hak antara masyarakat biasa dan priyayi.

Gadis Pantai kelak setelah menikah dipanggil Mas Nganten. Seorang bunga desa dari pantai Jepara. Ia dipaksa menikah oleh orang tuanya, dengan seorang priyayi pejabat pemerintahan belanda di Rembang yang diwakili keris. Gadis pantai yang tidak pernah melihat siapa calon suminya terpaksa menuruti pernikahan tersebut karena desakan ayahnya.

Dalam rumah suaminya Mas Nganten mulai belajar mengenai kelas yang menjadi jurang pemisah rakyat biasa dan priyayi. Ia dapat menjadi setengah priyayi hanya karena tubuh dan wajahnya yang jelita. Perbedaan kelas ini disampaikan oleh Mbok, pembantu Mas Nganten. Ia diajarkan untuk menyenangkan suaminya, Bendoro. Kelak Mas Nganten harus meninggalkan rumah setelah melahirkan tanpa diizinkan membawa anaknya.

Mas Nganten memiliki pikiran kritis dan rasa ingin tahu. Rasa ingin tahunya didorong rasa cemburunya pada Bendoro yang selalu pergi dan kerinduan pada orang tuanya. Mas Nganten akan menanyakan segala hal pada Mbok atau Bendoro. Tidak selalu menerima pendapat, menjadi dasar kesadaran Mas Nganten pada perbedaan. Meskipun ia tetap patuh pada Bendoro.

Cerita ditulis mengalir. Mulai dari Mas Nganten yang menurut dan takut hingga kritis. Konflilk ditengah cerita menambah alur tidak membosankan. Hingga drama menyedihkan Mas Nganten harus keluar dari rumah Bendoro meninggalkan anaknya.

Bahasa yang digunakan Pram sangat ringan. Dialog dibuat singkat dan aktif. Selalu ada penjelasan dari Bendoro, Mbok, atau orang tuanya mengenai pemikiran Mas Nganten tentang feodalisme. Hal ini menjadi sudut pandang kedua, bagaimana masyarakat saat itu memandang feodalisme.

Gadis Pantai ditulis dengan latar waktu era kolonial. Cerita yang dituliskan tidak hanya sekadar hidup seputar Mas Nganten. Namun, tingkatan antara kelas juga digambarkan. Bagaimana hubungan Mas Nganten dan bendoro, Mas Nganten dengan orang tuanya dan Mbok, serta Bendoro dengan pejabat yang lebih tinggi. Seseorang memiliki hak lebih rendah berdasarkan kastanya.

Pram menggambarkan kehidupan feodal dengan percakapan antara Mas Nganten dengan Mbok atau berdasarkan pemikiran Mas Nganten sendiri. Kepulangannya kerumahnya untuk menjenguk orang tuanya menggambarkan kehidupan feodal tidak hanya berlaku bagi keturunan priyayi. Namun, Mas Nganten dianggap setengah priyayi karena menjadi Istri priyayi. Sebagai priyayi dia dimuliakan bahkan oleh ayahnya sendiri. Berbeda dengan saat ia masih gadis.

Namun, feodalisme tidak terjadi pada masyarakat kelas bawah. Tidak ada kelas yang berarti sebagai pembatas kehidupan di desa Mas Nganten. Begitu juga kehidupan suami-istri. Ini di gambarkan Pram melalui pemikiran Mas Nganten yang mengingat kembali kampung halamanya. Di sana tidak ada perbedaan, seseorang menyembah orang lain. Meski ia tetua desa. Kecuali kepada Mas Nganten yang telah dianggap setengah priyayi.

Tidak mengherankan Pram dapat menampilkan Mas Nganten begitu kritis menggambarkan feodalisme. Pram banyak melakukan riset mengenai feodalisme. Terlebih di Jepara, di mana ia mengorek kehidupan Kartini. Ini mendukung cerita Mas Nganten terasa nyata.

Pada gadis pantai juga tersisip kisah kerja paksa zaman Gubernur Jendral Herman William Deandles, pada masa kedudukan Prancis. Kerja paksa ini merupakan  pembangunan jalan raya Anyer-Panarukan sepanjang 1000 KM.

Kisah itu diceritakan saat Mas Nganten memegang tiga pohon jati peninggalan kerja paksa tersebut. “Waktu tuan Guntur perintahkan seluruh penduduk kampung sini, laki dan perempuan, membuat jalan ini, mereka tiga harmal tak boleh pulang. Bayi-bayi pada mati kelaparan di rumah,” ujar kusir menceritakan kisah pembangunan jalan tersebut.

Gadis Pantai sebenarnya adalah romanberbentuk trilogi. Namun, dua dari tiga trilogi ini hangus dibakar angkatan darat saat buku Pramoedya dilarang beredar. Gaadis Pantai masih dapat diselamatkan karena dibawa oleh Savitri P.SchererMahasiswa Universitas Nasional Australia.

Meski tidak selesai, Gadis Pantai sangat layak dibaca. Pesan yang ingin disampaikan penulis tetap terpenuhi. Dari buku ini kamu dapat merasakan bagaimana kejamnya kehidupan feodalisme masa kolonial.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4