Oleh: Rosinda Manullang
“Nah, relate banget nih ciri-cirinya samaku, keknya aku depresi akut juga, deh.”
Kemudahan mengakses berbagai informasi di media sosial tidak lekang dari dampak negatif. Akses ini membantu tiap orang dengan mudah mengetahui berbagai informasi. Salah satunya informasi kesehatan. Hanya dengan mengetik gejala-gejala yang sedang dirasakan, tanpa menunggu lama segala diagnosis, pencegahan, bahkan pengobatan akan terlampir. Namun sayangnya, segala informasi yang tertera tidak bisa kita terima mentah-mentah karena keakuratannya tidak bisa dipastikan.
Faktanya kita sebagai pengguna sosial media masih belum bisa mengontrol diri dari berbagai informasi-informasi ini. Dengan mudahnya kita tersugesti percaya akan informasi tersebut. Hal inilah yang berujung pada self diagnose.
Berdasarkan Teori Parsons, disebutkan bahwa self diagnose adalah ketika seseorang yang melakukan diagnosa mandiri menempatkan diri sebagai seorang yang sakit (the sick role), tetapi tidak melakukan hal yang seharusnya dilakukan oleh pengidap sakit untuk meminta arahan kepada tenaga ahli yang kompeten.
Informasi kesehatan yang tidak valid dapat berdampak lebih buruk apabila individu menindaklanjutinya pada pengobatan yang tidak tepat. Informasi kesehatan yang tersedia di internet, buku, ataupun majalah berguna untuk mengenali gejala suatu penyakit, antisipasi terjangkit penyakit dan untuk membiasakan gaya hidup yang sehat. Namun, untuk diagnosis suatu penyakit atau gangguan kesehatan mental diperlukan konsultasi lebih lanjut dengan seorang ahli.
Jika tidak disikapi dengan bijak, informasi kesehatan yang seharusnya bermanfaat justru dapat menimbulkan kekhawatiran berlebihan. Saat kamu mengalami gejala suatu penyakit, yang perlu kamu lakukan adalah berkonsultasi dengan dokter untuk kemudian mengetahui apa penyebab pastinya. Hindari self diagnose kemudian sampaikan semua kekhawatiran yang kamu rasakan agar dokter kemudian dapat menentukan diagnosis yang tepat.
Isu kesehatan mental yang belakangan ini sedang gencar-gencarnya dibicarakan terutama di internet menjadi salah satu pemicu terbesar bagi individu untuk melakukan self diagnose. Ditambah banyaknya tes kepribadian ‘abal-abal’ yang ujung-ujungnya mengarah pada diagnosis yang membuat individu overthingking karena merasa diagnosis tersebut relate pada dirinya sendiri.
Diagnosis tersebut membuat kecemasan berlebih, sehingga individu tersebut dapat berperilaku tidak lazim seperti panik tanpa alasan, takut yang tidak beralasan terhadap objek atau kondisi kehidupan dan melakukan tindakan berulang-ulang tanpa dapat dikendalikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa self diagnose dapat menjadi salah satu penyebab seorang individu mengalami gangguan kesehatan mental.
Berdasarkan hasil survei terhadap 393 responden yang berusia 16-24 tahun, ditemukan 95% responden mengalami kecemasan, 88% responden mengalami gejala depresi dan 96% responden tidak memahami cara mengatasi stres. Berkaitan dengan kesehatan mental, aktivitas mendiagnosis diri sendiri mengalami gangguan kesehatan mental saat ini banyak terjadi.
Dilansir dari Nareza, terdapat beberapa dampak buruk yang mungkin akan muncul setelah melakukan self diagnose, antara lain:
- Salah diagnosis. Diagnosis ditentukan berdasarkan analisis menyeluruh mulai dari gejala, riwayat kesehatan terdahulu, faktor lingkungan serta pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Beberapa di antaranya dibutuhkan berbagai pemeriksaan lanjutan serta observasi lebih lanjut untuk mengetahui jika terdapat masalah pada fisik maupun mental. Ketika melakukan self diagnose faktor-faktor penting dapat terlewati dan kesimpulan diagnosa dapat menjadi salah. Gejala-gejala yang dirasakan tidak dapat disimpulkan hanya dengan mencocokkan dengan gejala yang tercantum tanpa pemeriksaan lebih lanjut.
- Salah penanganan. Penetapan diagnosa yang tidak tepat kemungkinan besar akan membuat penanganan yang keliru. Obat yang dibeli atau pengobatan yang dilakukan setelah self diagnose dapat menimbulkan hal yang fatal. Setiap penyakit memiliki penanganan, jenis, dan dosis yang berbeda-beda sehingga melakukan diagnosa mandiri dapat memberikan efek samping yang berbahaya.
- Memicu gangguan kesehatan yang lebih parah. Self diagnose dapat membuat penyakit yang diderita menjadi lebih parah dan menambah masalah baru (komplikasi). Obat atau pengobatan yang keliru tidak menyembuhkan sakit yang penderita miliki, tetapi memicu penyakit yang lain.
Selain itu self diagnose juga dapat menyebabkan seseorang mengidap cyberchondria, yaitu ketika seseorang mencari dan memperoleh terlalu banyak informasi dari internet atau media sosial mengenai suatu kondisi gangguan penyakit yang kemudian memicu kecemasan dan kepanikan.
Informasi mengenai self diagnose kesehatan mental dan dampak buruknya yang menargetkan remaja masih minim dapat menjadi salah satu penyebab perilaku self diagnose masih banyak terjadi di media sosial dan dari hasil survei hanya 3.8% dari 100 responden yang merasa memiliki gangguan mental dan telah mendapatkan diagnosa dari tenaga ahli profesional.
Literasi mengenai self diagnose masih minim beredar di masyarakat, hal tersebut dilandaskan dari hasil pencarian dalam website Goodreads yang dikhususkan sebagai tempat untuk katalogisasi buku di seluruh dunia, dengan tidak ditemukan buku informasi mengenai self diagnose kesehatan mental yang berasal dari penerbit dan pengarang Indonesia.
Oleh karena itu, dibutuhkan perancangan media informasi yang tepat, efektif, dan menarik mengenai perilaku self diagnose dan dampak buruknya, serta cara untuk memilah informasi kesehatan mental di media sosial sehingga tidak menjadikannya sebagai acuan untuk mendiagnosa diri. Selain itu kita perlu memeriksakan diri kepada tenaga ahli profesional seperti psikolog atau psikiater untuk mendapat diagnosa resmi.