BOPM Wacana

Fenomena Brain Rot: Kecanduan Scroll Konten Receh di Media Sosial

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi. | Tio Hasianna Vincentia Hutahaean
Ilustrasi. | Tio Hasianna Vincentia Hutahaean

Oleh: Iyusarah Pakpahan

“Ngapain sih nonton video receh orang masak es batu sambil pakai suara Google Translate?”

Mungkin kamu pernah bertanya-tanya tentang hal ini. Tapi anehnya, kamu tetap lanjut menonton bahkan kecanduan scroll. Lanjut ke video kucing nyanyi, potongan sinetron jadul, dan akhirnya tenggelam dalam gulungan konten absurd selama berjam-jam tanpa sadar. Jika ini terdengar familiar, maka selamat datang di era brain rot, sebuah fenomena yang sedang merajalela di media soial.

Asal-usul fenomena Brain Rot   

Istilah brain rot, yang berarti “pembusukan otak” pertama kali muncul pada tahun 1854, dalam buku karya David Thoreau berjudul Walden. Thoreau menggunakan istilah ini untuk menggambarkan penurunan kemampuan berpikir kritis dan intelektual, akibat masyarakat cenderung memilih hal-hal dangkal daripada pemikiran mendalam. Ia melihat masyarakat kian merendahkan ide kompleks dan mengintepretasikan berbagai cara agar lebih sederhana.

Istilah brain rot kini semakin populer di era media sosial. Awalnya hanya sindiran lucu untuk kebiasaan menonton konten receh seperti meme absurd atau video tanpa makna. Kini dalam dunia digital, brain rot justru berubah menjadi gaya hidup. Kita semakin tenggelam mengonsumsi konten tak bermakna terus-menerus.

Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, menyebut fenomena ini sebagai turunnya daya pikir kritis akibat konten instan yang tidak merangsang otak. Tetapi, bagi generasi digital, brain rot adalah terlihat seperti bentuk pelarian di tengah banyaknya tekanan dari tugas kuliah dan tumpukan pekerjaan. Sehingga banyak orang, terutama kalangan Gen Z menemukan kenyamanan dan hiburan dari konten receh.

Algoritma jadi dalang di balik candu

Apa yang membuat kita terjebak dalam kebiasaan mengonsumsi konten tidak berguna? Jawabannya adalah adanya peran algoritma. Platform seperti TikTok, YouTube Shorts, Instagram, Twitter (X) dan Facebook dirancang untuk mengenali pola konsumsi kita dan menyajikan konten serupa secara terus-menerus. Jadi semakin kita menonton video receh, semakin sering video serupa muncul lagi dan lagi.

Kadang kita hanya ingin scroll sebentar, tapi sistem algoritma seolah membuat kita enggan untuk keluar. Kita tidak lagi memilih apa yang mau ditonton, tapi kita hanya menonton apa yang disodorkan. Hal inilah yang sering membuat seseorang terjebak dalam “echo chamber”, yaitu ruang gema yang mempersempit pandangan karena informasi dangkal dan berulang.

Di tengah siklus ini, muncul pula fitur- fitur seperti For Your Page (FYP) pada TikTok dan Infinite Scroll di berbagai platform lainnya. Kedua fitur inilah senjata pamungkas yang memperparah gejala brain rot. Dengan FYP, pengguna tidak perlu mencari apapun.

Konten datang sendiri, seolah tau apa yang kita mau, padahal itu hasil pelacakan algoritma. Sedangkan infinite scroll membuat kita sulit berhenti. Tidak ada ujung, tidak ada henti, selalu ada video berikutnya untuk mengisi kekosongan.

Dampaknya bukan lagi sekedar hiburan

Meski terlihat sepele, konsumsi konten receh penyebab brain rot dalam jangka panjang bisa memengaruhi konsentrasi, memori, pola pikir bahkan mental. Mengutip dari Lptui.co.id, fenomena brain rot membawa dampak negatif seperti:

1. Berkurangnya kemampuan fokus

Kebiasaan menikmati konten instan seperti TikTok membuat otak sulit mempertahankan perhatian saat mengerjakan tugas yang memerlukan konsentrasi tinggi.

2. Menurunkan kemampuan berpikir kritis

Informasi cepat membuat kita cenderung bereaksi impulsif tanpa menyaring fakta, sehingga kemampuan evaluasi logis menurun.

3. Melemahkan kemampuan bersosialisasi

Kecanduan digital membuat orang lebih nyaman di dunia maya, sehingga mengikis empati dan kemampuan komunikasi langsung.

4. Menimbulkan kecemasan dan perasaan kewalahan

Tuntutan untuk selalu terhubung menimbulkan stres, overthinking, bahkan gangguan tidur yang menurunkan produktivitas.

Lalu, apakah kita harus berhenti menikmati semua bentuk hiburan ringan? Tidak. Menonton video lucu atau meme absurd tidak selalu buruk. Tapi saat konten seperti itu mendominasi seluruh waktu luang kita, penting untuk menekan tombol pause dan bertanya: masihkah aku sadar dengan apa yang kukonsumsi?

Mengatur waktu layar, memilih konten yang sedikit lebih berkualitas, atau bahkan membiarkan diri tanpa notifikasi bisa menjadi bentuk perlawanan kecil terhadap brain rot. Karena seperti tubuh, otak kita pun butuh istirahat.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4

AYO DUKUNG BOPM WACANA!

 

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan media yang dikelola secara mandiri oleh mahasiswa USU.
Mari dukung independensi Pers Mahasiswa dengan berdonasi melalui cara pindai/tekan kode QR di atas!

*Mulai dengan minimal Rp10 ribu, Kamu telah berkontribusi pada gerakan kemandirian Pers Mahasiswa.

*Sekilas tentang BOPM Wacana dapat Kamu lihat pada laman "Tentang Kami" di situs ini.

*Seluruh donasi akan dimanfaatkan guna menunjang kerja-kerja jurnalisme publik BOPM Wacana.

#PersMahasiswaBukanHumasKampus