Oleh: Vanisof Kristin Manalu
Makassar, wacana.org/arsip — Eko Rusdianto, wartawan freelance mengatakan dalam menulis laporan atau hasil liputan sejarah, tidak perlu terburu-buru. Hal tersebut dikarenakan butuh waktu yang lama bagi seorang jurnalis untuk meriset banyak data. “Lalu perlu banyak waktu lagi untuk memverfikasi data yang telah diperoleh,” ungkapnya saat mengisi materi Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional (PJLTN) Unit Kegiatan Mahasiswa Lembaga Informatika Mahasiswa Alauddin, Senin (10/10) di Balai Pengembangan Usia Dini, Makassar.
Eko menjelaskan, dalam penulisan sejarah perlu memerhatikan science yaitu ilmu pendidikan yang didasari teori, serta riset yang mengacu pada sejarah yang ingin diliput. Pun menurut Eko dalam penulisan sejarah tidak ada bedanya dengan penulisan seperti narasi, feature, dan tulisan panjang lainnya. Sama-sama melakukan teknik reportase seperti observasi, riset, dan wawancara. “Tekniknya sama, bedanya mana yang lebih didalami saja. Seperti sejarah sangat kuat di arsip, jadi perlu mendalami riset,” ungkapnya.
Eko mencontohkan sejarah Coto Makassar yang seorang pun tak tahu asal usulnya. Pun tidak ada arsip yang tersimpan seperti di perpustakaan. Ketika hendak menulisnya, penulis harus membiasakan memosisikan diri sebagai orang yang benar-benar ingin tahu dan menganggap bahwa makanan ini adalah makanan masyarakat orang biasa.
Menanggapi hal ini Sriwidiah Rosalina Bst, salah satu peserta dari Universitas Hasanudin membenarkan pernyataan Eko. Ia mengatakan untuk menulis sejarah perlu meramu data yang ada atau pun yang masih diriset agar informasi tersebut benar-benar valid. “Kita harus cerdas memilih referensi. jangan buru-buru. Sekarang kan banyak data yang hoax, jadi jangan sampai kita salah menginformasikan sejarah,” tutupnya.