
Oleh: Sagitarius Marbun
USU, wacana.org – Ketahanan sosial budaya Indonesia masih rendah. Hal ini disampaikan Tuti Nur Mutia Dosen Sastra Mandarin dalam Seminar Daring Diplomasi Kebudayaan Tiongkok yang diadakan Fakultas Ilmu Budaya melalui zoom, Kamis (18/2).
Tuti menerangkan rendahnya ketahanan sosial budaya Indonesia diukur dari aspek kesejahteraan, kualitas pelayanan, pengelolaan keragaman budaya, penegakan hukum, dan kepercayaan jati diri. Pun basis budaya agraris kurang mendukung etos kerja dan kreativitas.
“Kerentanan sosial budaya ini juga berasal dari struktural yang belum berhasil ditangani negara,” kata Tuti.
Tuti mengatakan ketahanan sosial budaya yang rendah menjadi penyebab Indonesia terkesan ikut arus dalam lintasan jalur OBOR (One Belt One Road), jalur perdagangan yang dibuka Tiongkok pada 2013 dengan berbekal keunggulan ekonomi, ilmu dan teknologi, pertahanan, dan budaya.
Tuti mengusulkan Indonesia harus meningkatkan posisi tawar di bidang sosial budaya dengan Tionkok. Pun Indonesia harus mengencarkan promosi budaya kerja dan nilai-nilai keindonesiaan. Hal ini bertujuan memudahkan trasformasi budaya agraris ke modern bisa lebih cepat dan kesadaran akan keberagaman budaya lebih kuat.
“Caranya bisa dengan menguatkan ikon-ikon budaya Indonesia juga festival kebudayaan sebagai promosi dan sosialisasi kebudayaan Indonesia,” ujar Tuti.
Melisa Peserta Seminar sepakat dengan Tuti. Ia mengatakan Indonesia perlu melakukan penggalakan kebudayaan supaya bisa mengejar Tiongkok. Ia menyayangkan pergerakan Indonesia yang lambat. “Sayang saya perhatian terhadap sosial budaya baru di masa Jokowi,” katanya.