Oleh: Dea Amanda Sembiring
Pemuda, sebagai pionir energi dan visi, seharusnya diberi kesempatan yang lebih luas untuk memimpin.
Di dalam lautan bergelimang kemakmuran, di atas gelombang perubahan yang bergulung, setiap negara mendayung perahunya dalam arung kompetisi. Pemuda, seperti pesona embun pagi yang segar di antara riak-riak air, menjadi kekuatan penting dalam dayungan perahu Indonesia menuju kemakmuran. Mereka adalah garda terdepan yang penuh energi, visi yang tajam, dan semangat yang membara untuk mencapai tujuan. Dalam konteks Indonesia yang terus bergerak maju, peran pemimpin muda menjadi elemen esensial yang menentukan kisah perjalanan perahu ini.
Pembahasan akan peran pemimpin muda menjadi sangat krusial karena mereka adalah tonggak bagi inovasi, keberanian, dan transformasi dalam politik serta pemerintahan. Indonesia, sebagai negara yang kaya akan keberagaman budaya dan tantangan kompleks, membutuhkan pemuda yang tidak hanya berani melangkah, tetapi juga memiliki kepekaan terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakatnya. Pemimpin muda bukan hanya sekadar representasi dari generasi muda, tetapi juga representasi harapan bagi masa depan. Mereka memiliki pengalaman yang unik dalam menghadapi era digital, kepemilikan ide yang segar, serta ketangguhan dalam menangani masalah-masalah yang sedang berkembang. Dengan demikian, pembahasan tentang peran mereka tidak bisa diabaikan, karena keterlibatan mereka memiliki potensi besar untuk mengubah wajah politik dan pemerintahan Indonesia ke arah yang lebih inklusif dan progresif.
Data perbandingan jumlah masyarakat usia tua dan usia muda menunjukkan bahwa Indonesia mengalami masa bonus demografi, yaitu kondisi dimana terjadi jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan meningkat signifikan pada tahun 2020-2030. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2023, jumlah pemuda saat ini sekitar 64,16 juta orang atau 23,18% dari total penduduk Indonesia pada 2023. Dengan dominasi piramida penduduk oleh anak muda, Indonesia berpotensi melahirkan jutaan jiwa generasi Z (penduduk lahir antara tahun 1997-2012) dan generasi milenial (penduduk lahir antara tahun 1981-1996) pada hari-hari yang mendatang. Generasi Z dan milenial memiliki energi, kreativitas, dan semangat yang tinggi, serta memiliki akses ke teknologi dan informasi yang dapat membantu mereka dalam mengembangkan ide dan inovasi.
Dalam situasi inilah orang tua dan pemerintah dituntut untuk mempersiapkan anak muda untuk menjadi pemimpin masa depan yang sukses dan berkontribusi pada pembangunan Indonesia. Pemuda bukan hanya sekedar penumpang kapal. Namun, mereka adalah bagian integral dalam mengarungi lautan yang penuh tantangan dan potensi bagi kemajuan Indonesia. Pemimpin muda jelas punya seribu potensi dalam memimpin dan berkarya baru. Sayangnya, mereka belum sepenuhnya mendapatkan lampu sorot di wajah politik dunia.
Menurut data Pewresearch, usia pemimpin nasional ditemukan berkisar dari 30-an hingga 90 tahun. Kepala pemerintahan termuda yang dapat ditemukan saat ini adalah Gabriel Boric dari Chili, yang berusia 37 tahun. Secara keseluruhan, Boric termasuk di antara segelintir pemimpin nasional yang berusia 30-an, termasuk dua orang berusia 37 tahun lainnya — Sanna Marin, Perdana Menteri Finlandia dan Dritan Abazovi, Perdana Menteri Montenegro. Pemimpin nasional tertua adalah Paul Biya, Presiden Kamerun, yang lahir di tahun 1933. Biya adalah satu-satunya pemimpin nasional saat ini di tahun 90-an.
Rata-rata usia pemimpin nasional saat ini adalah 62 tahun. Sebagian besar pemimpin dunia saat ini (35%) berusia 60-an tahun. Kira-kira seperempat (22%) berusia 50-an tahun, sementara 18% dan lainnya berumur 40 atau 70 tahun. Joe Biden, Presiden Amerika Serikat saat ini, adalah salah satu di antara 5% pemimpin yang berada di usia 80-an mereka. Pemimpin wanita cenderung lebih muda dari pada pemimpin pria. Meskipun hanya 13 negara saat ini memiliki seorang wanita pada jabatan tertinggi, usia rata-rata para wanita ini adalah 57 tahun, sedangkan usia rata-rata para pria pada posisi ini adala 62 tahun.
Mengapa anak muda harus diberikan kesempatan? Pemimpin muda sering memiliki tingkat energi dan antusiasme yang tinggi, yang dapat menginspirasi dan memotivasi anggota tim mereka. Mereka mampu mengilhami orang lain sampai pada tingkat usaha dan produksi yang tinggi bahkan lebih besar daripada mitra mereka yang lebih berpengalaman. Rekan-rekan mereka yang lebih tua cenderung memimpin dengan “mendorong” sementara manajer yang lebih muda memimpin dengan “menarik”.
Anak muda, pada banyak kesempatan, cenderung memiliki pemahaman yang lebih kuat tentang dinamika sosial dan budaya kontemporer, memungkinkan mereka untuk terhubung dengan beragam kelompok karyawan dan pemangku kepentingan. Mereka terus mencari cara inovatif untuk mencapai pekerjaan dengan lebih efisien dan dengan kualitas yang lebih tinggi. Mereka juga dikenal lebih akrab dengan teknologi dan tren terbaru. Wawasan ini menjadi modal esensial bagi para pemimpin muda untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas pekerjaannya.
Pemimpin muda juga lebih terbuka pada perubahan dan bersedia mengambil risiko, yang dapat mengarah pada eksperimen dan eksplorasi peluang baru. Mereka sangat terbuka dengan umpan balik dari sekitarnya. Mereka meminta kritik dan saran mengenai kinerja mereka lebih sering dan mencari cara untuk mencerna serta menerapkan berbagai kritik dan saran tersebut. Sebaliknya, para pemimpin yang lebih tua cenderung kurang bersedia untuk meminta dan menanggapi umpan balik dari rekan-rekan kerja mereka.
Tidak sedikit pula pemimpin muda telah menunjukkan kemampuan mereka dalam memegang kendali laju perahu pemerintahannya. Salah satu dari mereka adalah Sanna Martin, yang dilantik pada 10 Desember 2019 lalu sebagai Perdana Menteri Finlandia. Pada saat itu, Marin yang berusia 34 tahun, adalah kepala pemerintahan wanita termuda di dunia. Marin berfokus pada peningkatan program kesejahteraan sosial Finlandia dan berhasil membawa Finlandia keluar dari zona krisis pandemi global COVID-19. Ia secara luas dipuji karena penanganannya yang yakin terhadap krisis. Setidaknya, survey membuktikan bahwa 85% responden mendukung penanganan Marin terhadap pandemi.
Selain Marin, sosok pemimpin muda lain yang berhasil membawa pencapaian signifikan adalah Emmanuel Macron. Macron dilantik sebagai Presiden Prancis pada usia 39 tahun, menjadikannya presiden termuda di negara tersebut sepanjang sejarah. Kepemimpinan Macron telah menghasilkan pencapaian yang patut diapresiasi, seperti mengurangi tingkat pengangguran di Prancis ke tingkat terendah dalam rentang waktu 15 tahun terakhir, memberantas pajak perumahan untuk tempat tinggal tertentu, dan membangun garda untuk menghadapi radikalisme. Kepemimpinan Macron juga fokus pada isu imigrasi, memberikan peningkatan independensi kepada pemerintah kota dalam mengawasi kegiatan ekstrakurikuler pendidikan, menambah jumlah aparat kepolisian setempat, dan meningkatkan keamanan dengan mengerahkan lebih banyak kamera CCTV.
Namun sayangnya, serangkaian pencapaian ini tak cukup untuk membawa lebih banyak anak muda untuk unjuk diri di panggung dunia, khususnya wajah politik global. Dalam giat upaya anak muda mendayung lebih jauh dengan perahunya, mereka akan dihadapkan dengan derasnya hantaman ombak yang dalam skala besar dapat menghambat perjalanan mereka. Contoh tantangan nyata yang mereka hadapi adalah kurangnya jejaring politik. Masalah utamanya di sini adalah ketiadaan pengalaman yang memadai dalam mengelola dinamika politik dan kurangnya jaringan yang luas di lingkungan politik dan pemerintahan. Ini membatasi akses pemimpin muda terhadap informasi, dukungan, dan sumber daya yang diperlukan untuk mengimplementasikan kebijakan atau ide-ide mereka. Bayangkan bila ada seorang pemimpin muda yang baru saja terjun ke dunia politik. Dia mungkin kesulitan untuk menjalin hubungan yang kuat dengan sesama pejabat atau politisi senior. Situasi ini secara signifikan memengaruhi akses mereka terhadap informasi dan sumber daya politik. Kurangnya pengalaman dalam bernavigasi dalam struktur politik yang kompleks bisa menghambat kemampuan mereka untuk mendapatkan dukungan yang diperlukan.
Selain itu, pemimpin muda sering menghadapi resistensi terhadap gagasan atau inisiatif baru yang mereka usulkan. Hal ini bisa disebabkan oleh pemikiran konservatif atau perasaan takut terhadap perubahan yang masih mengikat pada pola pikir orang yang lebih tua. Kerap kali ketika pemimpin muda mencoba memperkenalkan kebijakan atau program baru yang berbeda dengan yang sudah ada, pejabat senior atau anggota lain dari lingkungan politik dapat menolak ide tersebut karena perasaan nyaman terhadap status quo yang sudah ada. Belum lagi jika gagasan yang diusulkan oleh si pemimpin muda bertentangan dengan kepentingan kelompok tertentu yang sudah mapan, resistensi terhadap perubahan jelas bisa terjadi secara lebih kuat.
Tantangan terakhir yang tak kalah pentingnya untuk ditinjau adalah stigma usia yang masih menjaring kuat dalam budaya pekerjaan. Stigma ini melibatkan persepsi bahwa usia muda tidak cocok dengan kepemimpinan yang berkualitas. Pemimpin muda mungkin dianggap kurang memiliki pengalaman atau kedewasaan dalam mengelola tanggung jawab yang kompleks. Saat mencalonkan diri untuk jabatan politik tertentu, pemimpin muda terkadang menghadapi ketidakpercayaan dari pemilih yang mempertanyakan kematangan atau kemampuan mereka untuk memimpin. Di dalam lingkungan pemerintahan, pemimpin muda mungkin dianggap kurang layak untuk diberikan tanggung jawab yang besar untuk mengelola situasi yang rumit. Berbagai tantangan ini secara nyata dapat menyekat perjuangan anak muda untuk menjajaki posisi tertinggi dalam kepemimpinan.
Oleh karena itu, upaya kolaboratif dari berbagai pihak dibutuhkan untuk menghadapi tantangan ini secara stuktural, dari tingkat pemerintahan terendah sampai tingkat nasional yang tertinggi. Upaya pertama adalah membenahi pendidikan dan memfasilitasi pelatihan kepemimpinan untuk anak muda guna memperkuat keterampilan kepemimpinan, manajerial, dan komunikasi yang efektif. Implementasinya dapat dilakukan dengan mendirikan lembaga pelatihan khusus yang menyediakan kursus-kursus intensif dalam kebijakan publik, manajemen organisasi, kepemimpinan, dan keterampilan komunikasi.
Setelah anak muda diberi pembekalan, saatnya mereka diberi kesempatan untuk bersuara dan berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan untuk mengakomodasi ide-ide baru dan inovatif. Keterlibatan politik dan sosial pemimpin muda mulai dari tingkat lokal harus didorong untuk memperoleh pengalaman praktis dan membangun jaringan. Implementasinya dapat dilakukan dengan menyelenggarakan acara-acara lokal atau regional yang memfasilitasi dialog antara pemimpin muda dan masyarakat untuk mengidentifikasi isu ataupun masalah yang memerlukan solusi.
Pemerintah juga dituntut untuk terlibat secara aktif dalam menggerakkan anak muda. Pemerintah dapat melibatkan pengembangan kebijakan yang mendukung partisipasi pemimpin muda dalam politik dan pemerintahan, yakni kebijakan yang memperkenankan kuota khusus bagi pemimpin muda dalam struktur politik tertentu, seperti kursi di parlemen atau posisi penting dalam pemerintahan. Terakhir, anggaran khusus juga perlu ditetapkan untuk mendukung program-program yang memfasilitasi partisipasi aktif pemimpin muda dalam kegiatan politik dan sosial.
Dalam lautan kemakmuran, pemuda adalah embun pagi yang segar, memimpin perahu Indonesia melintasi gelombang perubahan. Peran mereka menjadi vital dalam menghadirkan inovasi, visi tajam, dan semangat membara bagi kemajuan bangsa. Namun, berbagai tantangan yang muncul menjadi rintangan yang perlu diatasi. Solusi perlu diambil. Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci. Dukungan penuh dari pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat, dan sektor swasta diperlukan untuk memberikan ruang dan kesempatan bagi pemimpin muda dalam membawa perubahan positif bagi Indonesia. Dalam lautan yang tidak terduga, langkah bersama ini akan membantu pemuda untuk mengemban peran pentingnya dan membawa Indonesia menuju kemakmuran yang berkelanjutan.