
Oleh: Dormaulina Sitanggang
Judul | Berdoa Mulai |
Genre | Drama |
Durasi | 10 Menit |
Tahun Rilis | 2022 (Tayang di YouTube 2025) |
Produksi | Degradians Studio |
Sutradara | Tanzilal Azizie |
Penulis | Tanzilal Azizie |
Tersedia di | Kanal YouTube Degradians Studio |
Jikalau harus berbaur di tengah mayoritas penganut agama yang berbeda dari kita, bagaimana jadinya?
Ini kisah seorang murid SMA bernama Ruth. Dari cuplikan awal film, terlihat bagaimana perbedaan cara berseragam Ruth di antara murid lain yang beragama muslim. Tak berpelengkap aksesoris yang sama, jelas Ruth berbeda. Ia adalah murid nonmuslim di sana.
Kendati demikian, pakaian hanyalah salah satu pembedanya di antara yang lain. Selaku murid di sana, tentulah ia tetap mengikuti peraturan di sekolahnya. Termasuk menerima ajaran-ajaran yang berlandaskan keislaman. Mulai dari kelas, pergaulan, aturan, ia ikuti di kesehariannya. Ruth tidak menyoal perihal itu, justru tampaknya ia tak masalah.
Film karya sutradara Tanzilal Azizie ini juga menunjukkan Ruth yang bosan sebab terus-menerus menerima pertanyaan tentang bagaimana rasa daging babi. Pun, tiap harinya, suara Azan masjid setempat selalu ia dengar dari kamar tidurnya. Ruth tak keberatan dengan keadaan-keadaan itu, tetapi tidak ada penjelasan dalam film yang menunjukkan mengapa Ruth harus ditempatkan pada lingkungan tersebut.
Anehnya, sepanjang film, Ruth juga tidak menunjukkan penolakan atau memberi reaksi mencolok, mengingat ia berbeda di lingkungannya. Dia menjalani harinya, seolah-olah sudah terbiasa. Ditambah, adegan pada akhir film cukup mengejutkan. Tatkala Ruth saat bersama keluarganya, secara tidak sengaja ‘atau justru sengaja’ mengucap Basmalah sebelum makan. Pun, tanpa sadar, minimnya reaksi Ruth menegaskan nilai yang tertanam dalam dirinya telah melebur dan beradaptasi dari lingkungan kesehariannya.
Film Berdoa, Mulai menunjukkan bahwa nilai dan budaya agama bisa saja tertanam atau bahkan dianut dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus dipaksakan. Buktinya tidak ada paksaan dari lingkungan Ruth untuk mengubah keyakinan atau bahkan kebiasaannya. Seperti air yang menyesuaikan diri dengan kendi, itulah peribahasa yang menggambarkan kisah Ruth. Terbawa arus, melebur dengan sendirinya.
Mengangkat isu hegemoni agama di Indonesia, karya ini terbilang cukup berani mengingat realitas yang sama juga kerap terjadi di lingkungan masyarakat. Jika dibaca lewat kaca mata teori hegemoni Antonio Gramsci, dominasi suatu kelompok sosial memang tidak selalu dilakukan dengan kekerasan, tetapi juga melalui kebiasaan dan budaya yang diterima oleh masyarakat secara luas.
Hegemoni ini bisa muncul dalam bentuk ideologi, praktik sosial, atau kebiasaan tertentu yang menjadi norma. Hal yang sama juga terlihat dalam film Berdoa, Mulai. Di mana kebiasaan teman-teman Ruth yang Muslim akhirnya tertanam pada dirinya tanpa adanya unsur paksaan. Menariknya, penulis jalannya cerita ini, Tanzilal Azizie, adalah seorang Muslim.
Cara penyampaian film ini ringan, pesan-pesan tentang toleransi disampaikan dengan pendekatan yang tenang, tidak ada konflik dramatis atau dialog menggurui. Tidak ada konfrontasi atau tokoh antagonis. Film ini hanya menampilkan kehidupan sehari-hari seorang minoritas yang tanpa sadar telah meleburkan nilai-nilai diri dengan lingkungan mayoritasnya.
Tak heran jika film ini berhasil menyabet banyak apresiasi dan penghargaan. Berdoa, Mulai telah melanglang buana di berbagai festival film nasional, seperti Nominasi Piala Maya 2022, Official Selection Jakarta Film Week 2022, Nominasi Madani Film Festival 2022, Shortlisted ReelOzInd! Australia-Indonesia Short Film Competition and Festival 2022, Nominasi National Competition Minikino Film Week 2023, dan Official Selection JAFF 2023.
Terakhir, film Berdoa, Mulai jelas tidak bertujuan mencari siapa yang salah atau benar. Atau pula, memojokkan satu lain pihak. Kisah dari Ruth berupaya mengajak kita yang terkadang abai untuk melihat sekitar. Perbedaan memang tidak terhindarkan, tetapi tujuan baik tetaplah dapat dilakukan bersama tanpa harus terpecah atau saling mengasingkan. Sama-sama menerima bahwa pada akhirnya, siapa pun punya hak untuk hidup sesuai dengan ingin dan yakinnya.