Oleh: Nadiah Azri Br Simbolon
Amerika Serikat terus menerus melakukan perbaikan ekonomi. Akibatnya nilai tukar mata uang Dolar USD semakin menguat. Depresiasi terhadap Rupiah pun tak terelakkan. Bagaimana nasib Rupiah kita nantinya?
Kekuatan mata uang suatu negara ditandai dengan nilai tukar mata uangnya (kurs) terhadap mata uang asing. Jika seseorang berada di negara Indonesia berarti kekuatan nilai mata uang Indonesia dapat dilihat dari posisi nilai tukar rupiah terhadap mata uang lain, seperti yen, peso, poundsterling, atau dolar. Namun, dalam perdagangan internasional nilai tukar mata uang akan mengacu pada United States Dollar (USD) yaitu Dolar Amerika Serikat (AS) karena AS diyakini memiliki jaminan nilai mata uang yang tidak mudah berubah karena perekonomiannya yang kuat dan terbesar di dunia.
Kurs merupakan salah satu variabel ekonomi makro yang sangat penting, karena pergerakan nilai kurs dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi. Pentingnya nilai tukar mata uang suatu negara mendorong Indonesia untuk melakukan berbagai upaya menjaga posisi kurs mata uangnya berada dalam posisi yang relatif stabil. Namun, akhir-akhir ini kurs rupiah mengalami pelemahan yang cukup signifikan terhadap USD. Dilansir dari situs Bisnis.com, kurs rupiah di pasar internasional pada Senin 29 Mei lalu melemah hingga 26 poin atau 0,20% ke level RP 13.320 per USD.
Nilai tukar mata uang Rupiah bisa saja tidak mengalami pelemahan apabila tidak dikaitkan dengan USD. Akan tetapi, hal tersebut tentunya mustahil terjadi. Karena suatu negara perlu melakukan transaksi di pasar Internasional –untuk memenuhi kebutuhan sumber daya yang tidak dapat diproduksi sendiri oleh negaranya– yang didominasi mata uang USD. Inilah sebabnya pelemahan ataupun penguatan nilai mata uang Rupiah selalu dikaitkan dengan USD.
Pelemahan dan penguatan mata uang sangat dipengaruhi oleh kondisi penawaran dan permintaan pada mata uang tersebut. Jika permintaan meningkat, sementara penawarannya tetap atau menurun, maka nilai mata uang tersebut mengalami penaikan. Sebaliknya, nilai mata uang mengalami pelemahan bila penawaran pada mata uang tersebut meningkat, sementara permintaannya tetap atau menurun.
Berdasarkan Info Singkat Ekonomi dan Kebijakan Publik Vol. VII, No. 15/I/P3DI/Agustus 2015, kebijakan transaksi berjalan yang merupakan total ekspor barang dan jasa dikurangi impor barang dan jasa menjadi salah satu faktor melemahnya nilai rupiah. Kebijakan transaksi berjalan Indonesia telah mengalami defisit (lebih banyak impor daripada ekspor) sejak tahun 2012 yang akhirnya memicu terjadinya inflasi.
Tingginya tingkat inflasi menyebabkan harga produk domestik relatif lebih mahal dibandingkan dengan harga produk impor. Harga produk domestik yang lebih mahal dapat menyebabkan turunnya daya saing produk domestik di pasar Internasional. Masyarakat akan terdorong untuk membeli barang impor yang relatif lebih murah. Arus ekspor pun akan terhambat ataupun mengalami penurunan terus menerus. Pelonjakan nilai impor akan berdampak pada defisitnya neraca perdagangan Indonesia yang nantinya menghabiskan devisa negara jika defisit terus-menerus terjadi. Pun transaksi terhadap barang dan jasa impor membutuhkan mata uang domestik menjadi mata uang asing terutama USD. Permintaan terhadap USD akan meningkat dan nilai rupiah akan terus merosot jauh.
Tak tanggung-tanggung utang luar negeri Indonesia yang telah mencapai Rp 4.636 Triliun juga membawa dampak sangat buruk bagi nilai rupiah. Utang luar negeri ditetapkan berdasarkan mata uang USD mengakibatkan permintaan akan USD sangat tinggi, maka bisa dipastikan mata uang rupiah semakin mengalami depresiasi.
Pun dengan menguatnya perekonomian AS menimbulkan spekulasi Bank Sentral AS akan segera menaikkan suku bunga. Dengan kata lain, suku bunga AS cenderung mengalami kenaikan sementara suku bunga di Indonesia cenderung tetap bahkan menurun. Bila suku bunga AS lebih tinggi daripada suku bunga di Indonesia maka arus modal akan mengalir dari negara yang suku bunganya rendah –Indonesia– ke negara yang suku bunganya tinggi –AS–. Arus modal ini akan berdampak pada peningkatan jumlah warga negara Indonesia untuk berinvestasi ke luar negeri, akhirnya USD pun semakin melambung tinggi nilainya.
Hal merisaukan yang akan terjadi akibat turunnya nilai tukar Rupiah adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Rupiah yang melemah menyebabkan perusahaan harus mengeluarkan modal yang tinggi untuk memproduksi barang dan berakibat pada meningkatnya harga jual produk. Harga jual produk yang tinggi tentunya akan berkaitan dengan meningkatnya inflasi, penurunan nilai ekspor produk, dan rendahnya daya beli masyarakat terhadap produk tersebut. Bila daya beli masyarakat rendah maka mereka akan mengurangi konsumsinya. Hal ini dapat menyebabkan perusahaan menghentikan produksi. Disisi lain, perusahaan juga harus membayar biaya produksi lainnya, seperti upah karyawan, sewa gedung, dan pinjaman. Biasanya cara yang diambil adalah dengan mengurangi biaya tenaga kerja. Artinya, perusahaan bisa saja mengurangi tunjangan atau bonus maupun memecat karyawannya.
Hendri Saparini, pengamat ekonomi, menyebutkan pemerintah sudah seharusnya bertindak cepat untuk mengatasi pelemahan rupiah melalui implementasi berbagai kebijakan yang mendorong peningkatan devisa ekspor yang pada akhirnya berdampak meningkatan devisa dalam negeri. Selain itu, Didiek J. Rachini, Ketua LP3E Kadin 2015, menyebutkan perlu perbaikan neraca transaksi berjalan untuk meredam gejolak rupiah. Bahkan, pelemahan ini merupakan pertama kalinya setelah sekian lama neraca perdagangan mengalami defisit. Defisit neraca perdagangan terjadi karena Indonesia masih melakukan ekspor barang mentah.
Upaya menekan kebutuhan akan Dolar AS di Indonesia juga perlu dilakukan untuk memperkuat nilai mata uang rupiah dalam pasar internasional, misalnya dengan mengurangi penggunaan produk impor dan gencar menggerakkan warga negara Indonesia untuk menggunakan produk buatan dalam negeri.
Warga Indonesia juga bisa ikut berkontribusi dalam usaha memajukan teknologi dikarenakan negara yang lebih menguasai teknologi dapat menghasilkan barang-barang yang berkualitas bagus sehingga produk-produk dapat laku di pasaran dan Indonesia pun dapat mengurangi ketergantungan mengimpor barang-barang dari luar negeri.
Selain itu, peran pemerintah dan Bank Indonesia sangat besar dalam menjaga nilai tukar rupiah. Faktor perubahan Kurs dari segi fiskal diperhatikan oleh pemerintah sedangkan dari segi moneter oleh Bank Indonesia (BI). Dari segi fiskal, pemerintah berusaha untuk menjaga harga barang terutama kebutuhan pokok untuk tetap stabil agar tidak terjadi inflasi. Sementara itu, BI membuat kebijakan moneter dengan melakukan intervensi pasar dengan mengeluarkan valuta asing yang diambil dari cadangan devisa. Dengan koordinasi dan kerjasama yang baik antara pemerintah dan BI diharapkan nilai tukar rupiah akan kembali stabil atau setidaknya rupiah tidak mengalami depresiasi terus menerus.