Oleh: Tantry Ika Adriati
Hingga kini USU masih belum ‘berani’ menetapkan diri menjadi Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Pondasi hukumnya sudah kuat, dibawahi undang-undang. Kini kita tinggal tunggu langkah ‘berani’ USU untuk jadi KTR.
Minggu siang itu terik sekali. Sebuah Gerakan Perlindungan Perokok Pasif (GP3) sedang melakukan aksi long march di sepanjang jalan lingkungan kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Aksi yang dilakukan mahasiswa ITB ini untuk memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang jatuh pada 31 Mei.
Salah satu teman saya yang juga mahasiswa ITB ternyata mengikuti kegiatan tersebut. Kami sempat berdialog melalui pesan singkat terkait peringatan hari tanpa tembakau sedunia ini.
“Bagaimana perayaannya di Medan?” tanyanya pada saya.
“Ya, kami di sini juga aksi ke masyarakat. Minta ratifikasi undang-undang rokok,” balas saya.
“Baguslah, memangnya USU sudah KTR (kawasan tanpa rokok-red), ya?” tanya dia lagi.
“Ah, ya. Belum.”
“Lha, mendingan demonya ke rektorat saja. Minta USU dijadikan KTR.”
Jawaban teman saya yang sederhana tersebut membuat saya terdiam. Benar juga, hingga saat ini USU belum KTR. Saya ulangi, USU belum KTR.
KTR atau kawasan bebas rokok seyogyanya merupakan area yang dilarang untuk merokok, memproduksi, menjual, atau mempromosikan rokok. Dasar hukum KTR ini sudah jelas tertera dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009.
Disusul oleh Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2014 Kota Medan tentang KTR. Di dalam peraturan ini dijelaskan mengenai tujuh tempat umum yang dilarang untuk merokok. Salah satunya adalah tempat proses belajar mengajar. USU termasuk dalam kriteria tersebut.
Jika menilik lagi ke belakang, pemerintah tentu punya alasan yang kuat mencanangkan KTR. Sebuah survei oleh Global Audit Tobacco Survey yang dilaksanakan pada tahun 2011 menyatakan sekitar dua per tiga dari penduduk Indonesia ialah perokok. Bayangkan, total 243,8 juta penduduk Indonesia kala itu dua per tiganya adalah perokok.
Tentu, tak heran jika kita sering menemukan perokok di mana pun, baik di dalam angkutan umum, di dalam kelas, di jalan, di mall, atau di restoran. Padahal sudah jelas ada aturan larangan merokok di tempat-tempat umum tersebut.
Nyatanya, jumlah penduduk perokok di Indonesia melebihi penduduk yang bukan perokok. Maka KTR adalah salah satu solusi yang diambil pemerintah. Tujuannya untuk melindungi perokok pasif dan mencegah terjadinya gangguan kesehatan akibat paparan asap rokok. Artinya, pemerintah tak melarang masyarakat untuk merokok. Hanya saja, masyarakat harus merokok di tempat khusus yang diperbolehkan merokok. Dilarang merokok di tempat-tempat umum. Mudah bukan?
Tak perlu menunggu perokok sadar untuk tidak merokok, yang diperlukan sekarang adalah melindungi masyarakat dari paparan asap rokok. Inilah salah satu prinsip KTR.
Pertanyaannya, mengapa hingga kini USU belum KTR? Saya tak tahu pasti jawabannya. Bahkan hingga kini hanya Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) yang ‘berani’ menyebut dirinya sebagai KTR. FKM sudah mencanangkan KTR sejak 2011, disusul ITB pada 2012.
Mari kita berkaca pada Universitas Indonesia (UI) yang telah menerapkan kebijakan KTR berbarengan dengan FKM pada tahun 2011. Penetapan KTR ini bermula sejak UI mewacanakan kampus bebas rokok tujuh tahun sebelumnya. Pada mulanya karena mempertimbangkan asap rokok merupakan sumber penyakit dan menjadi salah satu masalah kesehatan yang dibincangkan dunia.
Beranjak dari masalah itu akhirnya rektor UI kala itu, Prof Gumilar Rusliwa Somantri menurunkan surat keputusan (SK) rektor mengenai KTR. Tujuannya tentu saja agar jumlah perokok di lingkungan kampus berkurang, dan secara tidak langsung akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia.
Ada satu poin yang menarik untuk dibahas pada SK Rektor UI ini. Semenjak menerapkan KTR, perusahaan rokok atau institusi yang citranya terkait dengan rokok, dilarang menjadi sponsor terkait dengan kegiatan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan. Secara otomatis UI harus membatalkan kerja sama dengan perusahaan rokok Indonesia. Sungguh kebijakan berani yang patut diacungkan jempol.
Mungkin ini salah satu penyebab USU masih belum berani menerapkan KTR. Sebab, jika sudah KTR maka USU juga harus membatalkan kerja sama dengan perusahaan rokok. Kenyataannya perusahaan rokok masih menjadi penyumbang beasiswa bagi mahasiswa USU.
Saya rasa semua civitas akademik USU, terutama mahasiswa dan dosen yang terpelajar sadar akan KTR. Tapi, apakah USU sudah cukup berani menerapkan KTR? Saya kira masih belum.
Lalu sampai kapan? Apa kita harus tunggu perusahaan rokok penyumbang beasiswa membatalkan kerja sama dengan USU. Atau menunggu pemerintah kota Medan memberikan surat peringatan mengenai KTR ini. Setelah itu barulah USU ‘berani’ menerapkan KTR?
Sebagai universitas terkemuka yang sejajar dengan UI dan ITB, USU seharusnya sudah mulai memikirkan ini. KTR bukanlah kebijakan main-main yang dibuat pemerintah, sebab pondasi hukumnya sudah kuat. Apalagi universitas-universitas terkemuka sudah mulai menerapkan KTR sejak lama.
Bertepatan dengan pemilihar rektor mendatang, saya harap calon rektor juga harus pertimbangkan KTR ini untuk jadi salah satu misi USU ke depannya. Tentu, untuk menjadi perguruan tinggi yang berbadan hukum, USU juga harus taat pada hukum yang berlaku.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) USU dan aktif sebagai Pemimpin Redaksi Pers Mahasiswa SUARA USU 2016.