Oleh: Yulien Lovenny Ester Gultom dan Erista Marito Oktavia Siregar
“Masyarakat kami harus kuat, harus tetap punya pengharapan. Saat Sinabung berhenti, pertanian bisa kembali hidup seperti semula”—Saberina Tarigan, Sekretaris Daerah Kabupaten Karo.
[dropcap]A[/dropcap]khir Oktober lalu, Presiden Joko Widodo dan ajudan-ajudannya tiba di Kabupaten Karo. Mereka berjalan kaki dari simpang Desa Guru Kinayan menuju daerah pinggiran sungai tempat penampungan pengungsi Gunung Sinabung. Di sana, ribuan pengungsi serta warga dari berbagai desa menanti kunjungan orang nomor satu Indonesia yang baru sembilan hari menjabat itu.Tiba di pengungsian, rakyat berbondong-bondong ingin menyalami presiden. Beberapa mengungkapkan keluhan-keluhannya selama setahun tinggal di pengungsian.
“Sabar-sabar ya, Bu, nanti kubikinkan Kartu Sehat dan Kartu Pintar untuk sekolah,” begitu kata Nurtala Beru Sitepu, 50 tahun, warga desa Guru Kinayan menirukan janji Presiden Joko Widodo.
Beberapa jam setelahnya, di tempat berbeda, Subur Tambun, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Karo beserta jajaran pemerintahan Kabupaten Karo dikumpulkan. Mereka mendapat mandat membangun tempat tinggal baru bagi pengungsi.
“Pembangunan harus segera dimulai,” ujar Subur menegaskan mandat Jokowi.
Awal November, Subur, Dinas Kehutanan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pertanian Karo berkumpul lagi, tujuannya mengamini perintah presiden. Mereka berembuk mencari lahan baru untuk pengungsi. Mula-mula mereka mencari lahan di sekitar Sinabung, namun tak ada lahan yang cukup luas untuk itu. “Harga tanah pun mahal,” keluhnya.
Lama berembuk, akhirnya mereka menemukan lahan yang cocok. Mereka pilih Mardinding dan Siosar.
Subur tawarkan dua lokasi ini kepada korban Sinabung di pengungsian. Pihaknya juga menyosialisasikan rencana relokasi agar warga setuju pindah. Tapi, sebagian besar warga menolak direlokasi ke Mardinding sebab jaraknya terlalu jauh, maka terpilihlah Siosar.
“Lahan pemkab di Siosar mereka mau,” cerita Subur.
Sebagai tindak lanjut atas kunjungan Presiden Joko Widodo ke Tanah Karo, tujuh ratus prajurit TNI dari beberapa satuan di jajaran Komando Daerah I Bukit Barisan diturunkan langsung untuk bantu membuka jalan ke Siosar. Kala itu, belum ada jalan ke Siosar, Siosar sendiri adalah kawasan hutan produksi yang diizinkan dibuka untuk lahan tinggal baru bagi pengungsi Sinabung.
Awal November, jalan sepanjang 3,8 kilometer jalan menuju kawasan hutan produksi Siosar pun dibuka. Namun, hujan deras yang sering turun menjadikan tanah berlumpur sehingga jalan sulit dilewati. Para TNI kesulitan mengangkut bahan material bangunan sebab kendaraan belum bisa masuk. Satu-satunya cara ialah berjalan kaki. Sepatu mereka penuh lumpur hingga sedalam mata kaki, gerak kaki terhambat karena lumpur seolah menghisap. Bahkan, para TNI mengangkut batu bata dengan tas sandang loreng di punggung mereka.
“Medan yang ditempuh TNI cukup berat saat itu,” kenang Sutrisno, salah seorang prajurit TNI sekaligus Komandan Setingkat Bagian Rumah.
Tak kehabisan akal, untuk membantu pengangkutan bahan bangunan tenaga kerbau pun diberdayakan. Tubuh kerbau diikatkan pada sebuah gerobak. Puluhan bata dimuat ke dalam gerobak. Saat jalan menanjak, para tentara mendorong gerobak agar kerbau mudah mendaki.
Sementara infrastruktur jalan terus diperbaiki, akhirnya, Desember 2014, lima puluh unit rumah berhasil didirikan dan 9,2 kilometer jalan berhasil dibuka. Warga dari tiga desa yakni Desa Suka Meriah, Desa Bekerah dan Desa Simacem akan menenempati rumah-rumah baru itu. Tiga desa ini sudah rata dengan tanah, tidak ada lagi bangunan yang tersisa. Oleh sebab itu, pembangunan tahap awal hanya diperuntukkan bagi mereka.
Tak hanya jalan, rancangan tempat tinggal bagi pengungsi juga sudah rampung. Rancangan tersebut digambar pada selembar kertas. Tampak warna hijau mendominasi kertas berukuran A3 itu, di tengahnya ada gambar sekumpulan kotak-kotak kecil berwarna kuning, jumlahnya puluhan.
“Ini rumah warga yang akan dibangun,” Subur menunjuk pada gambar tersebut.
Tak lama, tangannya beralih pada kumpulan warna hijau.
“Lahan pertanian akan dibangun di sini,” ujarnya.
Memang, membantu pembangunan rumah pengungsi di Siosar jadi salah satu Karya Bakti TNI skala besar. Tahap awal ada 370 unit rumah yang harus dibangun, ini berdasarkan kesepahaman dalam Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemkab Karo dan TNI. “Dalam MoU ditargetkan Juli sudah selesai,” ujar Sutriono.
Ada tiga ratus kepala keluarga yang terdiri dari 1212 jiwa yang akan mendapat hunian tahap pertama. Rumah tersebut memiliki luas dua ratus meter persegi dengan panjang 6×6 meter, luas rumah sudah sesuai standar yang ada, bahkan luas rumah ditambah 50 meter persegi dari jumlah yang ditetapkan yaitu 150 meter persegi. Ia bilang lahan yang lebih bisa digunakan untuk lahan pekarangan. Rumah itu terdiri dari satu kamar mandi, satu kamar tidur dan ruang tamu serta dapur dan total pembangunan 59,4 juta per rumah. Hingga saat ini, pembangunan rumah bertambah hingga 116 unit rumah.
Terkait dana, Subur bilang dana pembangunan tahap awal berasal dari dana siap pakai Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Tak hanya sampai relokasi tahap satu, rencananya akan dilakukan relokasi tahap dua untuk empat desa lainnya yaitu Guru Kinayan, Berastepu, Kota Tonggal, dan Gamber. Dana untuk tahapan kedua berasal dari pendanaan normal, artinya rincian diajukan ke kementrian keuangan kemudian ke BNBP selanjutnya diturunkan ke BPBD.
“Tapi tidak sekarang, mungkin 2016,” ujar Subur.
Ia bilang pengajuan ke kementrian keuangan sudah diajukan awal April lalu dan hingga saat ini masih diproses dan saat ini ia mengatakan masih mendata warga keempat desa yang juga akan direlokasi beberapa tahun mendatang.
Bulan Februari 2015, tiga perwakilan dari masing-masing desa dikumpulkan, mereka akan mencabut nomor untuk menempati hunian, terpilihlah Desa Bekerah untuk menempati 112 unit rumah yang sudah selesai. Desa Sukameriah dapat urutan kedua dengan 128 unit rumah sedangkan Desa Simacem dapat urutan ketiga dengan 130 unit rumah.
Sebenarnya, telah ada 119 unit rumah siap huni untuk warga Desa Bekerah sejak Maret lalu. Namun warga tak mau pindah sebab tak ada lahan pertanian yang bisa digunakan untuk bercocok tanam dan memenuhi kebutuhan hidup.
Salah satunya, Hemat Beru Sembiring, warga dari Desa Bekerah yang sudah lebih setahun mengungsi di Gedung Yayasan Universitas Karo. Hemat dan warga Desa Bakerah memang sudah mencabut nomor untuk mendapatkan rumah-rumah tersebut, tapi mereka belum mau pindah sampai seluruh pembangunannya selesai dan lahan pertanian selesai digarap. Ia berharap pemerintah cepat menyelesaikan pembangunan tersebut, barulah ia dan warga Bakerah lainnya mau beranjak dari pengungsian.
Gerak Lambat Relokasi Sinabung
Twenty Sitepu, Warga Desa Sukameriah ingat betul bagaimana ia dan warga desa mengungsi. Tak ada kendaraan atau bantuan pemerintah. Mereka diungsikan ke Masjid dan Gereja. Bantuan yang ia rasakan dominan dari swasta, juga dari perkumpulan wirid ibu-ibu di Medan maupun dari donatur Gereja.
Bahkan Twenty belum tahu kapan mereka dipindahkan ke tempat tinggal baru. Yang ia tahu, hingga tanggal 18 Maret semua pengungsi diminta pindah dari pengungsian dan harus menyewa rumah serta lahan. Masing-masing kepala keluarga diberikan sebesar Rp1,8 juta untuk sewa rumah dan Rp2 juta untuk sewa lahan. Jatah hidup lima ribu per kepala diberikan untuk keberlangsungan hidup mereka.
Bukit, Kepala Desa Sipayung berpendapat memang relokasi warga desa lainnya cukup lambat, walau Desa Sipayung tidak termasuk dalam zona bahaya erupsi Sinabung, ia berharap pemerintah cepat melakukan relokasi. Menurut Bukit, kendala tidak cepatnya relokasi sebab pemerintah tidak menetapkan erupsi Sinabung jadi bencana nasional.
Saberina Tarigan, Sekretaris Daerah Kabupaten Karo berpendapat sebaliknya. Menurut Saberina, relokasi pengungsi termasuk cepat. Saberina bercerita, sejak 24 Januari 2014 silam saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) datang ke Karo untuk melihat korban erupsi Sinabung, presiden telah memerintahkan untuk merelokasi warga.
Sampai akhirnya dipilih kawasan hutan produski Siosar. Rencananya 250 hektar untuk pemukiman dan seluas 416 hektar di sekitar Siosar untuk pertanian. Tapi, untuk pemakaian 416 hektar diperlukan izin dari Menteri Kehutanan. Maka saat itu juga, Pemkab Karo kirimkan surat ke kementrian namun belum ada tanggapan dari kementerian.
Kedatangan Presiden Joko Widodo membuat proses semakin cepat. Saberina bilang, Jokowi langsung menghubungi Menteri Kehutanan untuk mempercepat izin penggunaan lahan di Siosar, setelah itu, tahap pembukaan jalan hingga pembangunan dilakukan.
“Relokasi tidak lambat, tapi semua ada prosesnya,”ujarnya.
Selain itu, ada banyak pertimbangan dalam pemilihan lokasi.
Ia bilang pemilihan lokasi Siosar tidak asal, harus melibatkan Balai Lingkungan Hidup dan konsultan yang paham tentang lokasi ini. Bila tidak, daerah Sei Wampu dan Aceh bisa terkena banjir akibat penggundulan hutan pinus secara keseluruhan.
Mengenai wacana menjadikan Sinabung sebagai bencana nasional sudah tercetus sejak kedatangan SBY. Namun untuk menjadikan suatu bencana sebagai bencana nasional, ada kriteria yang harus dipenuhi seperti jumlah kematian yang ditimbulkan dan daerah lain yang terkena dampak akibat erupsi Sinabung.
“Enggak pun jadi bencana nasional, penanganannya sudah nasional,” ujar Saberina menirukan jawaban SBY ketika wacana ini dilontarkan.
Kemudian, awal Mei 2015, Pemkab Karo dan Gubernur Sumatera Utara kembali mewacanakan untuk menjadikan Sinabung sebagai bencana nasional. Sebab sudah terjadi hampir dua puluh bulan sejak 2013 silam dan kerugian ditaksir mencapai empat triliun rupiah. Erupsi masih terus berlanjut dan tidak dapat dipastikan kapan berhenti. “Mungkin seperti Merapi, dijadikan bencana nasional dan proses relokasi serta bantuan cepat dilakukan,” ujar Saberina.
Jika Sinabung ditetapkan sebagai bencana nasional, bantuan dari luar negeri bisa masuk serta relokasi lebih cepat dilakukan sebab ada bantuan yang lebih dan keuntungan lain seperti pemutihan hutang piutang korban Sinabung.
Kata Subur, bila kita membandingkan dengan masalah serupa yang terjadi di daerah lain, misalnya meletusnya Gunung Merapi di Provinsi Jawa Tengah, berbeda kondisinya. Gunung Merapi, proses tanggap daruratnya lebih sebentar dan langsung masuk ke tahap pasca bencana.
Tahapan tanggap darurat dilakukan dengan segera untuk menangani dampak buruk seperti kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
Sedangkan tahapan pascabencana adalah usaha rehabilitasi dan rekonstruksi untuk mengembalikan keadaan masyarakat pada situasi yang kondusif, sehat, dan layak sehingga masyarakat dapat hidup seperti sedia kala, sebelum bencana terjadi. Perbaikan secara fisik dan psikologis juga dilakukan. “Tanggap darurat sebentar, meletusnya sebentar setelah meletus sudah normal,” ujarnya.
Sinabung sendiri belum sampai pada tahap pascabencana. Sebab masa peralihan dari tahap tanggap darurat ke pasca bencananya cukup lama.
“Karena kita masih di tahap tanggap darurat, dana dari kementerian belum bisa digunakan, dana tanggap darurat untuk kontruksi darurat bukan untuk bangunan permanen,” tegasnya. Subur menerangkan, usai masa pasca bencana, rekontruksi untuk korban Sinabung baru bisa dilakukan.
Walau begitu, Saberina dan Subur berharap Sinabung kembali pulih seperti beberapa tahun silam. Saberina berharap Karo yang dulu sebagai daerah yang terkenal dengan lahan dan hasil pertaniannya hidup dan kembali dikenal. “Semoga hari esok lebih baik,” tutupnya.