
Oleh: Jennifer Smith L. Tobing dan Derista Putri
“Dengan damai, marilah kita berdoa kepada Tuhan”
Tepat pukul sepuluh pagi, lantunan doa mazmur bergema di sebuah rumah. Asap dupa naik perlahan membentuk kabut tipis di antara sinar lilin. Tidak terdengar lantunan musik maupun tepuk tangan sorak-sorai. Hanya keheningan sakral yang diisi bisikan doa dan langkah tenang umat memasuki ruangan, pada Minggu (27/4/2025).
Arnold, umat Gereja Ortodoks Rusia Paroki St. Sergius dari Radonezh Medan, mengambil air suci dan mencium ikon, lukisan kudus yang menjadi simbol kehadiran ilahi, sebelum menyatu dalam liturgi St. Johannes Chrysostomos. Hampir dua jam, bersama delapan saudara seiman, ia berdiri, menunduk, melipat tangan, menyanyikan nyanyian rohani, dan memanjatkan doa.
Jauh sebelum Arnold berdiri di ruang penuh khidmat ini, Gereja Ortodoks telah melalui sejarah panjang. Perpecahan besar pada 1054, The Great Schism, membagi Kekristenan menjadi dua kubu: Gereja Katolik Roma di Barat dan Gereja Ortodoks Timur. Tidak seperti Gereja Katolik atau Protestan, Gereja Ortodoks bersifat autocephalous. Ia berdiri sendiri tapi terhimpun dalam kesatuan iman. Kesatuan itu jugalah yang menghimpun berbagai aliran Ortodoks, yakni Ortodoks Yunani, Ortodoks Rusia, Ortodoks Koptik dari Mesir, hingga Syriac Ortodoks dari Antiokhia.
Gereja Ortodoks Rusia yang berpusat di Moskow memiliki 90 juta umat. Gereja Ortodoks masuk ke Indonesia sejak 1998 melalui Romo Daniel Byantoro. Ia memperkenalkan Ortodoks pertama kali di Solo, sebelum kemudian menyebar hingga ke Tanah Deli.
Meski jumlah umatnya tidak besar, Medan jadi salah satu kota dengan komunitas jemaat aktif. Di sebuah rumah sewa sederhana, Arnold dan jemaat beribadah dan menjalani puasa panjang, yang bisa berlangsung hingga 40 hari.
Data resmi jumlah umat Ortodoks di Indonesia masih sulit ditemukan. Mereka biasanya dikategorikan sebagai “Kristen” di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tapi bagi Arnold, bukan soal besar kecilnya jumlah. “Di sini, saya merasa pulang,” ucapnya singkat.
Menemukan Rumah dalam Cahaya Timur
Di hari yang terik itu, segelas air putih dan hidangan nasi cukup untuk menghilangkan dahaga dan laparnya setelah menuntaskan ibadah. Ia dulunya Protestan. Lulusan sejarah ini tersenyum saat mengenang bagaimana awal perjalananya.
Dulu, waktu belajar sejarah gereja, ia merasa ada yang hilang. “Dari Protestan langsung ke Martin Luther, lalu lompat ke zaman para rasul. Lho, 1500 tahun di tengah itu ke mana?” herannya.
Menurutnya, Kekristenan terlalu sering dikisahkan dari sudut Barat. Padahal di Timur, ada warisan iman yang sama tuanya, bahkan tak berubah sejak ribuan tahun lalu. Gereja Ortodoks, katanya, menawarkan pengalaman iman yang bukan cuma soal datang ke gereja, dengar khotbah, lalu pulang. “Di sini, semua punya makna. Bau dupa, nyanyian tanpa alat musik, tirai yang membatasi altar, semua itu bukan dekorasi. Itu bentuk penyembahan.”
Arnold tak merasa dijauhi setelah menjadi Ortodoks. Keluarga bahkan sering bertanya soal iman kepadanya. Di pergaulan pun ia tidak merasa dikucilkan. “Saya jadi seperti perpustakaan berjalan,” kelakarnya sambil tertawa.
Keanehan justru datang dari orang di sekitar. Ketika Arnold menjalani puasa menjelang Paskah dan menolak ajakan minum tuak, ia justru ditertawakan. “Langsung saja mereka bilang, mirip Islam pula kau ini, puasa-puasa,” ujarnya menirukan suara temannya.
Ia merasa heran mengapa puasa sering dianggap hanya bagian dari Islam, padahal puasa telah ada sejak awal sejarah Gereja Kristen. Pun saat ditanya bagaimana perubahannya setelah menjadi Ortodoks, Arnold menunduk sejenak. “Saya nggak merasa lebih baik, hanya saja saya merasa bisa mengenal apa yang lebih baik,” tuturnya.
Puasa, doa, dan seluruh ritus Ortodoks, Ia tegaskan tak semata upaya kejar pahala. “Saya puasa bukan karena harus. Tapi karena ingin. Karena itulah salah satu bentuk cinta saya kepada Tuhan,” pungkasnya.
Simbol yang hidup

Hari merayap menuju senja. Sinar keemasan matahari menembus kisi jendela gereja. Di atas karpet merah yang empuk dan hangat, sekelompok orang duduk melingkar, tak begitu rapi. Di antara mereka, Arnold menjadi poros cerita, berbicara penuh semangat meski hari mulai gelap.
Arnold bukan sekadar penganut. Baginya, menjadi Ortodoks bukan hanya perkara keyakinan, tetapi perjalanan menuju pemahaman yang lebih dalam. “Semakin aku mengenal Ortodoks, semakin aku merasa setiap hal kecil itu punya makna. Bukan sekadar ritual, tapi bentuk cinta kepada Tuhan,” ucapnya.
Dinding gereja menjadi saksi bisu iman yang hening. Lukisan-lukisan para orang kudus—disebut ikon—mengisi hampir setiap sudut. Tatapan mereka yang diam terasa hidup. Arnold tersenyum saat menjelaskan, “Ikon bukan disembah. Seperti kamu mencium foto orang tuamu, bukan karena kamu menyembah, tapi karena cinta.”
Bagi umat Ortodoks, orang kudus adalah pahlawan iman. Setiap kali nama Yesus atau para kudus disebut, umat membuat tanda salib dan menundukkan kepala. Sebuah kebiasaan yang bukan kewajiban, tetapi ekspresi hormat yang telah menjadi bagian dari tubuh.
Arnold menunjuk ke lukisan-lukisan lain di dinding. “Lihat lingkaran cahaya di kepala itu? Itu tanda kekudusan. Yang bawa salib berarti martir, yang pegang kotak adalah dokter, yang menunggang kuda itu prajurit. Kalau ada yang memegang Injil, itu pengaku iman.” Ia berhenti sejenak, lalu menunjuk pada sosok Maria. “Theotokos. Bunda Allah. Tangannya menunjuk ke arah Yesus kecil, sebagai penegasan: sembah bukan ibu, tapi Sang Putra.”
Di tengah penjelasan, seorang perempuan melintas diam-diam, mengemasi gelas dan piring kosong. Syal tersampir di punggungnya, rambut tertutup kerudung. Arnold berbisik, “Itu dari 1 Korintus. Perempuan menutupi kepala saat berdoa. Tapi laki-laki justru dilarang menutup kepala.”
Tiba-tiba, suara lembut menyusup ke tengah percakapan. Romo Nikola Sijabat, imam muda di gereja itu, berdiri di dekat mereka. Tangannya menunjuk ke tirai tebal yang menggantung di depan altar. “Itu bukan tirai biasa,” ucapnya pelan. “Itu lambang surga. Hanya imam yang boleh masuk.”
Ia diam sejenak, lalu berkata, “Binatang pun tahu itu tempat kudus. Saya percaya, mereka pun tak berani masuk.”
Suasana hening sesaat. Romo kembali bersuara, kali ini tentang hal yang mencolok dalam ibadah Ortodoks, tanpa kursi, tanpa iringan musik. Hanya karpet, akapela, dan jemaat berdiri sepanjang liturgi. “Di Kitab Wahyu, hanya Allah yang duduk. Malaikat dan para kudus berdiri. Kita berdiri sebagai tanda menyambut Raja yang hadir,” jelas Romo.

Di akhir percakapan, Romo memperlihatkan salib Ortodoks yang berbeda dari umumnya: bersilang tiga, dengan palang miring di bawah. “Ini lambang dua penyamun. Yang satu ke surga, yang lain menolak.”
Ia mengambil jeda sejenak, lalu tersenyum, “Yesus, yang tak berdosa, mengubah kutuk salib jadi kemenangan. Karena kebangkitan-Nya, kita punya jalan pulang ke surga.”
Harapan untuk tetap ada

Bagi mereka, hidup beriman bukan sekadar hadir di balik dinding gereja tiap Minggu. Ia mengalir tenang dalam ritme harian, menuntun napas dan langkah, bahkan di tengah kesibukan dunia yang tak berhenti. “Gereja Ortodoks memiliki sembahyang tujuh waktu dalam sehari,” ujar Arnold.
Tak semua memang melakukannya, tapi setiap tiga jam, doa-doa tertentu dipanjatkan sebagai cara menjaga hubungan dengan Tuhan. “Hukum gereja bukan konsekuensi dosa, tetapi bentuk cinta kepada Tuhan,” tutur Arnold.
Bentuk cintanya itu tampak dalam hal-hal kecil tapi konsisten seperti berpuasa, menyendiri untuk berdoa, atau setia mengikuti ritus yang panjang. Bahkan ketika hanya ada satu atau dua orang yang mengikuti, ibadah maupun perayaan tetap dijalankan. “Kalau hari raya itu jatuh di hari kerja, saya sendiri yang akan bernyanyi, berdoa, membakar dupa,” ujar Romo.
Di balik ketekunan itu, ada harapan yang diam-diam mereka simpan. Harapan mereka sederhana: agar Gereja Ortodoks dipahami, bukan disalahpahami sebagai aliran aneh atau penyembah benda mati. “Kadang orang tanya, kalian nyembah apa ya? Kok kayak perdukunan sih, pakai lilin?” kata Arnold sambil mengingat pertanyaan yang sering ia dengar.
Romo menambahkan, penolakan sering kali bukan lahir dari kebencian, melainkan dari ketidaktahuan. Karena itu, harapan terbesar mereka adalah bisa menjalankan iman dengan tenang, tanpa harus sembunyi, dan terus-menerus harus menjelaskan jati diri.
Dengan jumlah sebanyak 23 orang, kebanyakan mahasiswa, tantangan itu nyata. Setelah lulus, banyak yang pergi. Komunitas pun berubah-ubah, sulit untuk menetap. Bahkan membangun budaya doa bersama pun belum sepenuhnya tercapai. “Untuk orang tua yang baru ikut, ibadah Ortodoks kadang terasa berat. Tapi anak muda lebih bisa menyesuaikan, meski sering ditegur orang tua karena beda tradisi,” kata Arnold.
Di tengah zaman yang cepat berubah, mereka tetap bertahan. Di sanalah letak kekuatan mereka. “Kami tidak berharap jadi banyak. Tapi kami berharap tetap ada.” Sebuah harapan sederhana yang dituturkan dengan keyakinan.