BOPM Wacana

Haryanto Napitupulu, Mahasiswa USU Penghayat Kepercayaan Tradisional “Parmalim”

Dark Mode | Moda Gelap
Haryanto Napitupulu | Sumber Pribadi
Haryanto Napitupulu | Sumber Pribadi

Oleh: Winny Stefanie 

Sejak lahir, Haryanto menganut agama Kristen. Hingga lewat cara tak terduga, membawanya untuk mulai menekuni dan teguh menjadi penganut kepercayaan “Parmalim”.

Di tengah lajunya arus perkembangan yang mulai meninggalkan beberapa tradisi adat, Haryanto dengan berani mematahkan narasi tersebut. Berasal dari Kabupaten Simalungun, lelaki bernama lengkap Haryanto Napitupulu ini, tengah menempuh pendidikan di Universitas Sumatera Utara (USU) Program studi (Prodi) Sastra Batak stambuk 2024.

Dirinya diketahui seorang penghayat kepercayaan tradisional “Ugamo Malim”, yaitu sebuah agama tradisional yang berasal dari masyarakat Batak. Para penghayat aliran kepercayaan ini disebut sebagai seorang “Parmalim”. Memilih untuk menjadi pemeluk kepercayaan tersebut, bukanlah sebuah keputusan yang mudah, khususnya dari pihak keluarga. Sebab, Haryanto lahir dari keluarga yang menganut agama Kristen.

Tentu ini menjadi pukulan bagi keluarganya, ketika ia memutuskan untuk beralih kepercayaan. Perlakuan dan kata-kata kasar kerap ia terima pada saat itu, salah satunya ancaman akan dihapus dari Kartu Keluarga (KK). Beruntung baginya, di masa itu sang nenek setia menjadi perwakilan Haryanto untuk mantap menjadi Parmalim dengan menandatangani sebuah surat izin.

Haryanto menceritakan awal perjumpaannya dengan Parmalim yang terbilang cukup unik, yaitu berasal dari sebuah mimpi.  “Ini percaya atau tidak, awalnya dari mimpi. Soalnya di daerah kami tidak ada lagi penganut kepercayaan ini. Tidak ada pengenalan apa pun dari lingkungan sekitar. Karena aku orang Kabupaten Simalungun,” tuturnya.

Panggilan melalui alam bawah sadar tersebut membawanya untuk terus mencari tahu. Hal ini tentu tidaklah mudah, karena Parmalim merupakan kepercayaan tradisional yang berasal dari Batak Toba. Dengan yakin, ia mempercayai pesan di dalam mimpinya, yang secara mengejutkan selalu membawanya selangkah lebih dekat dengan kepercayaan tersebut.

Sejak tahun 2018, Haryanto telah melakukan perjalanan panjang dari tempat tinggalnya di Kecamatan Tanah Jawa menuju Porsea secara rutin tiap hari Sabtu. Perjalanan itu tentunya menemui halang-rintang dan pengorbanan. Terlebih di masa itu, Haryanto masih duduk di bangku kelas 10 SMA. Namun, ia tetap semangat menempuh perjalanan puluhan kilometer demi menekuni kepercayaan tersebut.

Parmalim mempunyai keunikan tersendiri, khususnya dalam ritual ibadah. Terdapat delapan ritual yang ada dalam kepercayaan ini. Ritual-ritual tersebut mempunyai makna dan fungsi yang dalam bagi pemeluknya. Salah satunya adalah “Marali habonaron“, yaitu ritual pengampunan dosa. Disimbolkan dengan memakan ramuan pahit dan berpuasa selama 24 jam. Serta dilarang membunuh makhluk apapun dan tidak boleh mencabut tumbuhan.

Kini, banyak masyarakat Batak Toba yang perlahan mulai meninggalkan kepercayaan Parmalim. Akan tetapi, beberapa ajaran yang terdapat pada kepercayaan tersebut masih dilakukan oleh mereka hingga saat ini. Seperti “Sipaha lima“, yang merupakan tradisi mengumpulkan hasil panen dan melakukan acara syukuran.

Parmalim sendiri sudah menjadi salah satu kepercayaan yang diakui oleh negara sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Akan tetapi, penolakan masih kerap dirasakan. Haryanto mengungkapkan beberapa sikap intoleran kian muncul dalam lingkup pertemanan.

“Itu sudah biasa, bisa saja mereka hari ini masih berteman dengan saya. Nanti setelah beberapa minggu atau bulan, sudah ada yang menyinggung-nyinggung tentang kepercayaan yang saya anut,” ungkapnya.

Haryanto memanfaatkan sarana digital untuk mengenalkan Parmalim pada masyarakat. Melalui akun TikTok miliknya @haryantonapitupulu, ia secara rutin mengunggah konten tentang kepercayaannya sejak tahun 2020 silam. Hal ini ia lakukan dengan tujuan agar para generasi muda tidak serta-merta melupakan ajaran leluhur mereka.

Tak bisa dipungkiri, kepercayaan Parmalim merupakan warisan budaya milik Indonesia yang harus lestari. Sangat disayangkan jika pemeluknya masih terus-menerus mendapatkan perilaku intoleran dari masyarakat sekitar. Jangan sampai sikap intoleran memecah belah dan menyingkirkan suatu hal yang sangat amat berharga.

Haryanto juga memberi pesan bahwa setiap umat dengan berbagai kepercayaan, tetap harus dihormati haknya sebagai manusia. Segala perbedaan bukanlah tembok yang memisahkan moralitas manusia, karena hal tersebut bukan diukur berdasarkan kepercayaan melainkan sisi kemanusiaan.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4

AYO DUKUNG BOPM WACANA!

 

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan media yang dikelola secara mandiri oleh mahasiswa USU.
Mari dukung independensi Pers Mahasiswa dengan berdonasi melalui cara pindai/tekan kode QR di atas!

*Mulai dengan minimal Rp10 ribu, Kamu telah berkontribusi pada gerakan kemandirian Pers Mahasiswa.

*Sekilas tentang BOPM Wacana dapat Kamu lihat pada laman "Tentang Kami" di situs ini.

*Seluruh donasi akan dimanfaatkan guna menunjang kerja-kerja jurnalisme publik BOPM Wacana.

#PersMahasiswaBukanHumasKampus