Oleh: Dios Lumban Gaol*
Pelaksanaan keringanan uang kuliah esensialnya berdasarkan pada kondisi mahasiswa, bukan pada status mahasiswa.
Apa sih alasan orang masuk universitas melalui jalur mandiri? Tentu jawabannya mudah! Mungkin akan ada yang jawab karena tidak lolos SNMPTN dan SBMPTN, atau karena sudah berulang kali gagal sehingga jatah SBMPTN sudah habis. Dan kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Hal ini mungkin berbeda dengan pandangan para pejabat kampus. Melihat dari kepengurusan mereka belakangan ini, sepertinya mereka memandang bahwa mahasiswa mau masuk jalur mandiri karena mareka “KAYA”.
Sebelum pandemi Covid-19, nalar seperti itu tentu masih dianggap biasa-biasa saja (walau bermasalah), namun pada masa pandemi sekarang, apa masih bisa dianggap biasa? Sebab nalar buruk tersebut berimbas pada kebijakan atau peraturan yang dibuatnya.
Adanya pandemi sangat berimbas pada perekonomian, terutama warga menengah ke bawah. Di antara orang tua mahasiswa, ada yang di PHK, upah dikurangi, usaha dagang menurun, hingga orang tua harus dirumahkan tanpa pemasukan sama sekali. Hal ini berdampak pada kemampuan orang tua dalam membayar uang kuliah anaknya.
Awal pandemi banyak mahasiswa dari berbagai kampus, aksi ke jalan agar kampus memberi keringanan pembayaran uang kuliah, salah satunya Aliansi Mahasiswa USU. Selain karena kondisi perekonomian keluarga, tentu karena mahasiswa belajar secara dalam jaringan (daring), sehingga fasilitas kampus tidak digunakan, yang seharusnya berdampak pada pengurangan uang kuliah.
Hasil dari beberapa aksi tersebut, Kemendikbud menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Inti dari peraturan ini yaitu mengatur perihal bagaimana cara mengukur/menghitung uang kuliah mahasiswa, serta penekanan pada nilai uang kuliah yang harus disesuaikan dengan kondisi ekonomi keluarga.
Walaupun Permendikbud ini masih belum maksimal merespon dampak keadaan pandemi di sektor pendidikan. Seperti tidak adanya penekanan proses keringanan uang kuliah akibat wabah atau kedaruratan kesehatan.
Penting dilihat, dalam peraturan tersebut terdapat Pasal 9, yang mengatur mengenai kemungkinan untuk pengurangan uang kuliah, berupa: a. Pembebasan sementara UKT; b. Pengurangan UKT; c. Perubahan kelompok UKT; d. Pembayaran UKT secara mengangsur. Juga disebutkan ada mekanisme mahasiswa membayar UKT paling tinggi 50%.
Ke semua mekanisme tersebut telah 3 kali direalisasi oleh USU sejak Agustus 2020, kecuali mekanisme pembayaran UKT paling tinggi 50% yang baru direalisasikan pada pembayaran Agustus 2021. Walaupun dalam semua pelaksanaannya banyak terjadi kekurangan dan kekeliruan.
Mulai dari waktu pengumuman keringanan, pelaksanaan, syarat yang saya rasa aneh (karena diumumkan diakhir dan tidak memuat klausul SPP didalamnya), hingga tidak adanya transparansi dan akuntabilitas. Dan yang paling memuakkan ialah komunikasi pejabat yang saya rasa buruk. Kekurangan tersebut akan dibahas pada kesempatan lain. Kali ini saya akan fokus pada diskriminasi yang dialami mahasiswa jalur mandiri dalam pemberian bantuan keringanan uang kuliah.
Dalam 3 kali realisasi keringanan uang kuliah tersebut, mahasiswa jalur mandiri tidak memiliki akses yang sama dengan mahasiswa jalur reguler.
Bisa kita lihat seperti contoh pada 12 Agustus 2020, dikeluarkan mekanisme keringanan pertama kali dengan Surat Edaran (SE) WR I Nomor 7129/UN5.1.R1/SPB/2020. Dalam surat tersebut mahasiswa jalur mandiri tidak dapat mengakses keringanan, karena tidak terdapat penegasan mahasiswa yang berhak dan tidak adanya klausul SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) yang merupakan jenis uang kuliah yang ditanggung oleh mahasiswa jalur mandiri. Juga dikonfirmasi oleh Rektor pada saat audiensi Aliansi Mahasiswa USU di Agustus 2020, bahwa mahasiswa jalur mandiri tidak mendapat keringanan.
Pada 9 Februari 2021, dikeluarkan mekanisme keringanan kedua, namun tetap saja mahasiswa jalur mandiri tidak mendapat akses. Padahal bila membaca surat edaran yang dikeluarkan dengan seksama, terdapat klausul SPP, yang seharusnya mahasiswa jalur mandiri bisa mengakses keringanan tersebut. Ketika dikonfirmasi pada Biro Kemahasiswaan USU, tetap saja tidak mendapatkan jawaban yang jelas.
Dalam tempo ini, juga telah dilakukan beberapa kali aksi di depan Gedung Rektorat, agar akses keringanan bisa diakses seluruh mahasiswa, namun suara tersebut tidak dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan.
Selanjutnya, Agustus 2021, USU mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Rektor mengenai pembayaran UKT paling tinggi 50% dan Peraturan Rektor USU No. 11 Tahun 2021 mengenai keringanan uang kuliah. Kedua jenis keringanan tersebut merupakan langkah maju.
Mungkin hal ini dipengaruhi oleh pimpinan USU yang baru berganti. Namun bagi mahasiswa jalur mandiri sama saja, mereka tidak mendapatkan akses yang sama. Mahasiswa jalur mandiri hanya memiliki akses keringanan untuk membayar uang kuliah secara mengangsur. Bisa dilihat dalam Pasal 8 Peraturan Rektor tersebut, terkait syarat dan cara pengangsuran.
Tentu kita bertanya-tanya, apa dasarnya mahasiswa jalur mandiri tidak mendapat akses keringanan yang sama dengan mahasiswa jalur reguler? Pema USU dalam aksi yang dilakukan pada 19 Agustus 2021, juga menuntut akses keringanan harus diberikan kepada seluruh mahasiswa tanpa diskriminasi.
Terhadap hal tersebut WR I USU menjawab bahwa “Peraturan keringanan tanpa adanya diskriminasi cukup sulit dan terhalang peraturannya pemerintah”. Pernyataan ini dapat dilihat di Instagram Pema USU terkait rilis pers aksi.
Namun ketika saya telusuri dengan merujuk landasan yuridis pembuatan SK dan Peraturan Rektor tersebut, yaitu Permendikbud No. 25 Tahun 2020. Saya tidak menemukan peraturan yang menghalangi USU untuk memberikan akses ke semua mekanisme keringanan terhadap mahasiswa jalur mandiri. Justru Permendikbud tersebut memberi banyak mekanisme dan kemudahan mengakses keringanan tanpa membatasi mahasiswa jalur mandiri.
Memang dalam beberapa kali aksi, pertanyaan tentang kenapa mahasiswa jalur mandiri didiskriminasi terkait keringanan, tidak dapat dijawab dengan rasional. Ujuk-ujuk pejabat menjawab terkait keuangan kampus. Sayangnya audit keuangan USU juga tidak pernah membuka dokumennya secara keseluruhan, hanya simpulan saja, sehingga kita tidak bisa melihat alasan “keuangan” apa yang dimaksud oleh mereka.
Lagi pula pemberian keringanan terhadap mahasiswa jalur mandiri juga mempunyai alasan yang kuat. Salah satu indikator penghitungan uang kuliah ialah biaya operasional kampus, bisa dilihat pada lampiran Permendikbud No. 25 Tahun 2020.
Semenjak mahasiswa belajar dari rumah, sudah setahun lebih mahasiswa tidak menggunakan fasilitas kampus. Sehingga bila indikator operasional dicek kembali, tentunya akan mengalami penurunan nilai yang berdampak pada penurunan jumlah uang kuliah. Karenanya, tidak ada alasan untuk tidak memberi keringanan bagi mahasiswa jalur mandiri.
Selain itu, dalam memberi keringanan, USU seharusnya berbasis pada kondisi dan keadaan mahasiswa, bukan pada status mahasiswa. Sebab keadaan mahasiswa terdampak pandemi yang menjadi dasar tiap kampus memberikan keringanan uang kuliah.
Lagi pula begini, apabila ada mahasiswa jalur mandiri yang orang tuanya meninggal karena Covid-19 (mohon maaf), jangankan untuk membayar uang kuliah, untuk makan saja sudah ketar-ketir, apakah mahasiswa tersebut tidak dapat diberi keringanan uang kuliah?
Beda cerita, bila mahasiswa jalur mandiri masih dianggap “KAYA”.
*Penulis merupakan mahasiswa aktif USU, Ilmu Hukum 2017. Tulisan dimuat lewat program kontribusi.