Oleh : Yael Stefany Sinaga
Ada benarnya. Hanya sang penenun waktu yang tahu jawabannya.
“Kita bukan belajar tulang-tulang, bintang-bintang, atau pun gali-gali tanah. Kita belajar manusia,”
Ucap seseorang. Terpenting terpatri sampai ke sumsum otak. Terkutuk memang. Tak tahu menahu, disuguhkan dengan sejarah manusia. Uniknya saling berhubungan satu sama lain. Sesalnya memaksa untuk mengerti. Sekali lagi kalimat ‘kita belajar manusia’ semakin jelas.
***
Pernah ada yang bilang punya teman banyak tidak bagus adanya. Katanya punya teman banyak hanya menyakiti sukma. Katanya lagi punya teman banyak harus siap ditinggal pergi lalu datang membawa kepentingan. Aku tak lah berlalu saja. Karena aku pun jua tak punya banyak teman.
Abangku mengajariku untuk idealis. Katanya itu menyenangkan. Kenikmatannya pun bertambah. Ibarat makan nasi, tidak ada objek yang ingin kau bagi. Begitulah teori sederhananya. Aku pun tak lah berlalu saja. Karena aku pun belum mencobanya.
Belum lagi adikku mengajariku untuk pentingnya punya pendamping hidup. Katanya manusia akan untung bila dapat pendamping. Apalagi banyak. Jika kau lapar maka akan datang pendamping itu untuk memberi atau setidaknya membagi kepunyaanya. Aku tak lah berlalu saja. Karena sesungguhnya pendampingku masih datang dan pergi.
Tiba-tiba sore hari, bapak memanggilku. Ia suruh aku duduk diatas kabin. Dia suruh aku cermati kata-katanya. Biasanya bapak pasti ingin ceramah. Bosan sekali. Sudah kutahu pastilah tentang kedamaian hati. Tapi aku salah. Dia ceritakan dua orang manusia yang hidup entah berapa ratus tahun lamanya. Namanya Daud dan Yonathan. Dari cerita bapak yang kudengar, mereka hidup sehati dan sejiwa. Katanya aku harus punya teman yang seperti itu. Aku hanya mengamini saja. Dasar bapak.
Suatu hari aku memasuki lingkungan baru. Cerita yang kudengar, tempat ini kita bisa menyampaikan apa yang kita rasakan tanpa rasa takut. Lalu katanya ditempat ini bisa berbicara jika tidak sesuai dengan peraturannya. Ada lagi yang bilang, ditempat ini bisa belajar bagaimana mencari jarum diantara pengusa berdasi. Senang bukan main diriku bisa masuk ke tempat ini. Apalagi untuk masuk tempat ini mesti bersaing dengan manusia khatulistiwa.
Namun katanya tempat ini juga menyeramkan. Kalau tak pandai berbicara pasti akan dibodoh-bodohi. Kalau tidak pandai bersikap pasti ditendang keluar dari tempat ini. Apalagi kalau tak pandai memilih teman. Kalau tidak harus terima menjadi manusia nomaden.
Itu sebabnya bapakku melakukan ritual leluhur sebelum aku masuk ke tempat ini. Dibawanya aku ke tempat nenek di kaki gunung. Minta doa agar sukses dan selamat selama tinggal di tempat baruku. Nenek pun memotong ayam kampung dan memasaknya dengan bumbu hutan. Lalu ia memejamkan mata dengan mulut komat-kamit. Mungkin sedang bacakan doa keselamatan. Setelah itu kami makan bertiga di atas lantai.
“Baik-baik lah. Jangan buat susah aku. Sudah dewasa kau. Kuyakin kemampuanmu untuk membedakan yang baik dan benar. Ingat pesanku selama kau hidup. Jangan sungkan datang kalau kau menyesal nantinya. Kalau ada masalah hadapi dengan berani. Tidak ada satu pun keturunan nenekmu yang penakut. Apalagi sampai kau lihat manusia di depanmu tertindas karena keserakahan manusia,”
Begitulah nasihat singkat bapakku sebelum aku benar-benar pergi meninggalkan kehidupan lamaku. Dengan sejuta doa yang dipanjatkan, berharap ada satu yang terkabul. Tidak memilih. Terserah yang mana saja.
***
“Kita bukan belajar tulang-tulang, bintang-bintang, atau pun gali-gali tanah. Kita belajar manusia,”
Ucap seseorang. Terpenting terpatri sampai ke sumsum otak. Terkutuk memang. Tak tahu menahu, disuguhkan dengan sejarah manusia. Uniknya saling berhubungan satu sama lain. Sesalnya memaksa untuk mengerti. Sekali lagi kalimat ‘kita belajar manusia’ semakin jelas.
Belum lagi dengan cerita aliansi-aliansi. Rezim pemberontak. Manusia legenda. Ganjil genap. Hingga Adik kandung. Untung saja waktu itu aku dan manusa lainnya sering duduk berlama-lama untuk mendengar kebenarannya.
Makin lama diriku masuk ke dalam lingkaran beberapa manusia. Entah bagaimana bisa masuk ke lingkaran ini. Mungkin kerena sering bertukar pengalaman. Lama kelamaan aku senang. Nyaman. Untuk kesekian kali bertemu jenis manusia idaman. Walaupun tak semua.
Mulai duduk sama. Makan sama. Pergi sama. Mengerjakan pekerjaan sama. Jalan sama. Tuhan sama. Agama sama. Semuanya sama. Sampai kami dibilang membentuk aliansi baru. Bahkan belum terhitung hari sudah ada saja yang berharap kami bubar.
Mereka dari tempat yang berbeda. Paling jauh berasal dari tempat garis khatulistiwa terbentang. Nama mereka Andre, Audrey, Bill, Ernes, Febriko, Friska, Imanuel, Marthin, Raysa, dan Ruth. Punya filosofi masing-masing. Tapi tidak kutanya karena bukan urusanku.
Doa yang dipanjatkan terjawab salah satu. Mempunyai pedamping. Setidaknya perkataan adikku ada benarnya. Walaupun kisahnya tak seperti yang diceritakan bapakku. Tapi aku pun tak bisa pungkiri kalau pada akhirnya perkataan abangku ada benarnya. Tinggal menunggu waktu untuk menjawab.
Setidaknya ada cerita yang kubagi kepada orang-orang saat aku tinggal di tempat ini. Mulai dari menceritakan kepribadian mereka yang ngeri-ngeri sedap. Tidur bersama dengan ukuran ruangan 4×6. Otak mesum yang luar biasa. Kepentingan. Proyek besar-besaran. Terkadang buat aliansi lagi. Membuat album kenangan. Kejutan yang selalu gagal. Menangis padahal tak disakiti. Mencintai kebudayaan negara ginseng. Kongres berkali-kali. Bermain teknologi sampai pagi. Aib yang tak bisa dijaga. Menindas dengan perkataan. Suka sesama kelompok. Mabuk karena bertepuk sebelah tangan. Sampai belajar mengikuti jejak leluhur.