Oleh : Nikyta Ayu Indria
Percayalah, semua yang ada di dunia ini hanyalah titipan. Roda kehidupan selalu berputar membentuk kepribadian yang lebih kuat. Pada akhirnya keteduhan akan menghampiri setelah kepiluan menyinggahi batin.
***
Derit ayunan tua terdengar miris. Bunyi karatan besi usang mulai menandakan ia tidak semenarik dahulu. Bunga-bunga di sekitar teras tak menampakkan lagi warna kemekaran. Yang tersisa hanya pot berisi tanah kering berwarna cokelat kekuning-kuningan. Kolam ikan yang dulu sangat bening berubah menjadi penampungan air hujan yang bercampur dengan lumut.
Terakhir aku mengunjungi tempat ini dua minggu lalu sebelum ujian tengah semester. Masih sama, alunan denting piano tetangga sebelah selalu dimainkan menjelang senja. Setengah jam sudah aku menghabiskan waktu duduk di ayunan buatan ayah ini. Membaca novel karangan Dan Brown yang baru sempat ku baca setelah sekian lama berada di lemari.
Aku sering sendiri kalau sedang suntuk-suntuknya. Kalau enggak, main kerumah teman-teman kuliah. Aku punya lima orang teman perempuan yang banyak kecek, Arumi, Keiko, Sunny, Zahra, Agatha Mereka semua doyan merumpi soal artis kecuali aku. Kalau tak tentang kawin-cerai, pacar baru artis. Kalau tak ya tentang pelakor. Ya, warganet yang suka pantau akun lambe itu. Tapi aku nyaman dengan mereka.
“Mbak di mana? Sudah selesai kelas? Segera pulang ya. Ayah mau kasih sesuatu.”
Pesan singkat Whatssapp dari Ayah muncul di pemberitahuan telepon selulerku.
“Ok.”
Tempat ini sekarang ditinggali oleh teman-temanku. Mereka sewa di sini sejak awal kuliah. Dulu aku di sini, lalu pindah ke tempat yang baru. Bentuknya masih sama, tapi kondisinya tidak seperti ditinggali oleh anak perempuan. Iya sudah terserah mereka mau dipengapakan. Diperbaiki juga enggak bakal jadi kayak dulu.
“Mi, aku balik ya. Ayah baru ngechat harus pulang. Kalian jangan lama kali pulang.” Isi pesan singkatku ke Arumi.
“Iya, hati-hati Dir. Nanti aku berkabar kalau udah sampai.” Balas Arumi singkat.
Aku tinggal bersama dengan Ayah, Ibu tiri yang kupanggil Bunda dan dua saudara tiri perempuan. Bukan seperti cerita Cinderella, kok. Bunda maupun saudara tiri ku tak pernah membuatku seperti pembantu. Kita hanya berbicara sesekali. Mungkin dalam sebulan bisa di hitung jari.
“Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday, happy birthday. Happy birthday Dira.” Suara Ayah, Bunda dan dua saudara tiri ku di ruang makan sambil memegang kue dan balon mengagetkanku.
“Kamsia semua.”
“Buat permohonanmu,” kata Bunda.
Aku memulai berdoa dalam hati. Sama seperti tahun lalu, tidak pernah berubah isi doanya.
Sepuluh tahun aku menjalani kehidupan baru. Meski begitu, sejujurnya aku tak bisa merasakan keharmonisan di antara keluargaku sendiri. Aku merasa menjalani hidup kosong tanpa tahu penyebabnya.
Tapi walau keadaanku begitu rumit, aku tak pernah mencaci takdir lagi. Meski itu kerap kulakukan dahulu. Kata orang-orang sekarang Dewi fortuna selalu mengikutiku, entahlah.
“Halo. Dir, di mana? Kami sudah pulang ini. Mau balik ke sini lagi enggak? Kami punya banyak cerita.”
“Iya nanti ke sana. Sebentar aku baru sampai juga.” balasku sambil makan.
“Ayah, Bunda, Dira ke rumah lama ya jumpa orang Arumi,” pamitku buru-buru.
“Pulang atau tidur di sana?” Tanya Bunda.
“Pulang mungkin. Sekitar jam 8-an,” Kataku, sambil mencari kunci mobil.
***
Berbagai orang datang lalu-lalang memasuki gedung besar ini. Ada yang mengantar makanan, menonton televisi, duduk dan diam kearah luar jendela, sampai bermain di dalam ruangan. Semua dapat di maklumi karena itulah fungsi tempat ini. “Saya mencari ibu Anna” kataku. Setelah mengisi data, salah satu perawat mengantar ku ke sebuah kamar di pojok sebelah kanan.
Perlahan ku buka pintu bertuliskan angka 70. Seorang perempuan tua dengan umur 47 tahun berbaring di tempat tidur. Ia tak menghiraukan kedatanganku, bahkan tidak menoleh. Lalu dibantu dengan perawat tadi, perempuan yang dihadapanku menatap dengan datar tanpa berkata. “Sudah lama tidak berjumpa” ucapku berseri.
Ia tidak membalas. Aku memeluknya dengan haru seraya menitikkan air mata, hangat rasanya.
***
“Happy birthday Diraaaa.” Teriak mereka semua saat aku membuka pintu rumah.
“Terima kasih wanita-wanitaku.”
“Kasih doa dan harapan dong.” Kata Keiko
Sama dengan yang kuucapkan di rumah tadi. 15 detik aku memejamkan mata, bicara dalam hati atas apa yang aku inginkan. Berharap tahun ini aku dapat jawabannya.
“Dir, aku temu ini di kamar. Mungkin ketinggalan waktu memberesi pindahan itu. Ku pikir juga ini berharga buat mu.” Arumi memberi sebuah foto berukuran dompet.
Entah roh apa yang memasukiku hari ini, aku tak berdaya menatap foto yang kugenggam sekarang. Memori keluarga yang pernah kurasakan dulu. Aku bahkan sudah lupa pernah ada di foto itu.
“Kayaknya ko memang harus lihat keadaannya, Dir. Iya bagaimana pun dia tetap…”
“Aku mengerti Mi. Tapi itu masih aku pikirkan dan aku enggak kuat.”
“Mau sampai kapan? Aku kira sepuluh tahun cukup untukmu berpikir. Entahlah, apa yang salah. Kadang ego bisa mengeraskan hati.”
“Karena kau enggak pernah ada diposisi aku. Sudah, aku pergi.”
Satu menit yang lalu aku berdebat dengan orang yang aku percaya. Apa memang benar aku terlalu batu?
***
Tuhan, hidupku menginjak 20 tahun hari ini. Entah sejak kapan aku merasakan hidup seolah mati. Aku terlihat bahagia ketika bersama teman-temanku. Tapi sangat kosong bila sedang sendiri. Aku harap aku tahu apa sebabnya. Amin.
“Ibu apa kabar? Hari ini Dira ulang tahun.” Ucapku sambil menyisir rambut Ibu.
Ibu diam saja.
“Ibu kesepian ya? Maaf Dira baru bisa ke sini. Kami pindah Bu, sudah tidak di rumah lagi. Yang menempati sekarang itu teman-teman Dira, jadi Dira bisa sering lihat rumah kita. Ayah menikah dengan janda anak dua. Mereka baik tapi Ibu tetap yang terbaik.” Aku menjelaskan dengan tenang.
Kehidupanku saat ini hanya ada Ayah, Bunda dan dua saudara tiri ku. Ibu kandungku bukan tidak ada. Hanya saja aku tak pernah mengingatnya setelah sekian lama. Dan wanita yang tadi kupeluk dan berada diruangan itu adalah ibu kandungku. Iya, aku menemukan jawaban bahwa Anna adalah alasan tersirat dari kosongnya batinku selama ini.
Ibu menderita Alzheimer sepuluh tahun lalu. Aku seolah tak peduli karena merasa tertekan dan malu. Bahkan saat ayah memutuskan untuk membawa Ibu ke Rumah Sakit Jiwa lalu menikah dengan Bunda, aku juga biasa saja. Aku tak berusaha untuk mencegahnya atau memberontak.
Tak pernah aku melihatnya sejak saat itu. Penampilannya saat ini lebih tua dibanding terakhir kami berpisah. Rambutnya terurai panjang dengan setelan baju khusus rumah sakit ini.
Aku memeluknya kembali dalam waktu lama. Aku yakin dia bisa merasakan permintaan maafku selama sepuluh tahun ini. Kuharap ia masih menerimaku dihatinya.
***
Aku paham semuanya kenapa ini terjadi. Tuhan Maha Adil. Ia biarkan karma ini berjalan dengan setimpal.