Oleh: Shella Rafiqah Ully
Pesta demokrasi mahasiswa USU akan digelar dalam hitungan hari. Pertanyaannya, sadarkah mahasiswa USU tentang ini? Sudah siapkah kita berpesta demokrasi lagi? Semoga Pemilu USU nanti bukan (lagi) pepesan kosong belaka.
Sejak berstatus sebagai mahasiswa USU, September 2012 lalu hingga hari ini saya hanya berkesempatan merasakan berjalannya roda pemerintahan mahasiswa (Pema) USU satu kali. Saat itu jabatan Presiden dan Wakil Presiden Mahasiswa diemban oleh Presiden Brilian Amial Rasyid dan Wakil Presiden Abdul Rahim yang menang pada pemilihan umum 2014. Itupun dengan jujur harus saya katakan, sebagai mahasiswa saya tak rasakan peran mereka secara signifikan.
Lihat saja janji kongres mahasiswa untuk amandemen Tata Laksana Ormawa (TLO) 2009. Saat itu, presma sepakat kongres adalah hal yang penting sebab TLO sebagai panduan organisasi dianggap usang, penuh keambiguan dan perlu diluruskan. Namun, tak terealisasi sampai sekarang.
Sebenarnya tahun 2012 lalu, Pema USU masih memiliki Presiden Muhammad Mitra Nasution yang terpilih pada pemilu 4 Mei 2011. Namun hingga masa jabatan yang harusnya selesai di pertengahan 2012 ia urung menyerahkan laporan pertangggungjawaban (LPJ). Akhirnya saat itu lebih dari dua tahun Pema USU dipimpin oleh orang yang sama. Pema vakum, perannya tak terlihat.
Mari kita mundur lagi. Gelaran pemilu pada 2008 lalu melahirkan dualisme kepengurusan pema USU. Dilansir dari Tabloid Pers Mahasiswa SUARA USU Edisi 66, MPMU yang masih bernama Majelis Mahasiswa Universitas, melantik Diki Altrika sedangkan KPU melantik Fritjen Harianja. Presiden tak jelas, KPU justru diduga ‘bermain’ dengan dana pemilu yang digelontorkan. Belum genap setahun Diki memilih wisuda, Fritjen di-DO.
Pema vakum selama dua tahun hingga pemilu kembali digelar pada 2010. Namun masalah serupa muncul, dualisme kepemimpinan di tubuh Pema USU. KPU dan MMU satu suara melantik Paidi sebagai presiden mahasiswa. Namun salah satu pasangan calon Herianto Sihotang-Marthin Fernando Siahaan serta pema sekawasan tak terima pelantikan. Paidi tak mendapat legitimasinya, rektorat mengakomodir mereka untuk menetapkan status quo. Pema kembali vakum, barulah pemilu selanjutnya digelar dan Mitra terpilih menjadi presiden.
Pemilu yang akan dilaksanakan dalam beberapa hari mendatang juga punya cerita serupa sebagai pemilu yang terlambat. Sebagai informasi, Brilian Amil Rasyid-Abdul Rahim dilantik pada 1 Juli 2014 dan presiden pengganti mereka baru akan dipilih pada akhir Mei 2017 nanti. Ini karena pemilu yang dilaksanakan pada 19 Mei 2016 gagal. Bahkan nyaris berujung kisruh di seluruh fakultas.
Saat itu, di FMIPA sama sekali tidak dilakukan pemilihan karena salah satu saksi enggan menanandatangani berita acara pemilu dengan alasan daftar pemilih tetap bermasalah. Di Fakultas Psikologi pemilu tak berlangsung sebab tidak ada izin dari Wakil Dekan III. Di FIB, proses pemungutan suara mendadak ricuh ketika ada sekelompok mahasiswa melarang adanya pemungutan suara dengan alasan FIB belum memiliki KPU fakultas. Pemilu tak kondusif, seluruh TPS ditutup. Alhasil, regenerasi presiden-wakil presiden mahasiswa USU kembali gagal.
Padahal jika merujuk pada aturan TLO 2009 masa periodesasi Pema USU adalah satu tahun. Artinya, selama kurun waktu lima tahun harusnya Pema USU punya lima presiden dengan lima periodesasi pemerintahan dan tentunya lima kali penyelenggaraan pemilu.
Bisalah konkawan simpulkan sendiri sudah berapa lama kita kehilangan fungsi dan peran Pema USU sebagai wadah belajar dan penampung aspirasi mahasiswa. Sudah berapa stambuk adinda-adinda junior kita terlangkahi dan tak kebagian jatah belajar memimpin universitas ini.
Parahnya lagi, vakumnya pema sebagai wadah resmi aspirasi mahasiswa akhirnya juga berdampak menumpulkan kekritisan mahasiswa terhadap rektorat. Buktinya, enggak ada satu mahasiswapun yang menyampaikan aspirasi terkait kebijakan USU naikkan uang wisuda dari Rp150.000 jadi Rp500.000 pada Maret lalu! Mungkin ada, dumel-dumel di hati atau sesama teman mahasiswa saja, yang jelas tak berdampak kalau tak disampaikan kepada rektorat. Mahasiswa tenang, rektorat pun senang.
Tapi, usahlah meratap. Sekarang lebih baik cari tau mengapa jalan ceritanya begitu alot, syukur-syukur setelah ini kita bisa diskusi lalu kemudian temukan solusi.
Tak bisa dipungkiri gaung pema jauh terdengar di telinga mahasiswa. Kini perannya justru jauh panggang dari api. Belum ada langkah konkrit pema yang berorientasi pada kepentingan mahasiswa sehingga dampaknya dapat dirasakan secara langsung. Mari ingat bersama, pema bukan event organizer yang orientasi kerjanya adalah menyelenggarakan acara, membuat proposal kegiatan dan membuat LPJ kemana uang proposal itu dihabiskan. Mahasiswa lebih butuh pema untuk mengadvokasi masalah mereka, akademik maupun tidak.
Hari ini dengan keberadaan pema, sudah berapa mahasiswa yang nilai uang kuliah tunggal bermasalah lantas berhasil diadvokasi oleh pema? Bukan hanya di data lalu dijadikan formalitas progja tanpa ada follow up ya! Sudah berapa keluhan mahasiswa terkait fasilitas kampus yang berhasil diadvokasi oleh pema? Sudah sejauh mana pema memperjuangkan hak publik kita sebagai mahasiswa untuk dapat mengakses laporan keuangan USU? Itu hanya pertanyaan sederhana agar kita dapat mengukur sudah sejauh mana pema menjalankan fungsinya sebagai perpanjangan tangan kita, mahasiswa.
Barangkali memang tak bijaksana kalau semua salah kita getahkan ke pema. Toh, layaknya pemerintahan, ada instrumen-instrumen di dalamnya. Rektorat, MPMU, KPU dan tentu saja kita, mahasiswa. Harusnya, mahasiswalah yang paling merasa terganggu jika Pema USU tak menjalankan kewajibannya. Tak adanya saling pantau antar semua instrumen ini bisa jadi adalah penyebabnya kenapa beberapa kali penyelenggaraan pemilu, bahkan yang terakhir kali dilaksanakan tahun lalu pun gagal? Karena tidak ada kesadaran bersama atas nama mahasiswa USU. Lalu kenapa tidak ada kesadaran itu?
Bisa jadi mahasiswa yang disebut-sebut apatis tidak menyadari dan mengerti apa guna pema, atau bahkan tak tau ada pemerintahan mahasiswa di kampus ini. Atau, mereka yang mungkin mengerti benar apa itu pema dan segala polemiknya, tapi kemudian menjadikan pema sebagai ajang ‘gagah-gahan’ perebutan kekuasaan, mengutamakan kepentingan pribadi dan eksistensi kelompok. Kalau sudah begini, pesta demokrasi jadi tak disambut layaknya ‘pesta’ lagi. Mahasiswa yang peduli eksistensi pema jauh kalah jumlah dibanding yang apatis. Alhasil, bukan tak mungkin cerita lama berulang kembali.
Meski bukan tak mungkin masih banyak di luaran sana mahasiswa USU yang sadar dan mengerti benar kondisi Pema USU saat ini tapi terlalu lelah untuk bersuara dan berjuang karena masalah yang tak kunjung selesai.
Saya pikir sebagai mahasiswa sudah selayaknya kita melek pada keadaan. Fungsi mahasiswa sebagai agent of change dan kontrol sosial bukan cuma sekadar cakap-cakap senior waktu penyambutan mahasiswa baru. Mari tunjukan peran kita yang sebenarnya saat gelaran akbar pemilihan eksekutif dan legislatif beberapa hari mendatang. Mari bersama-sama awasi pemilu dan jalannya pema. Jangan apatis dan buang suara. Jika merasa ada yang salah saat pemilu, sampaikan protes sesuai aturan yang berlaku. Perbedaan pendapat kiranya sedapat mungkin difasilitasi, tapi selalu dalam wadah penyatuan agar semua dapat berjalan baik. Jangan arogan apalagi anarkis, toh kita sudah ‘Maha’siswa. Cukuplah selama ini kita buang-buang waktu, tenaga bahkan uang puluhan juta hanya untuk konflik yang tak ada hasil sementara persoalan mahasiswa USU semakin menumpuk.
Minggu ini para calon tengah sibuk kampanye untuk ‘menjual diri’ agar ‘laku’ pada 24 Mei mendatang. Kita sebagai mahasiswa harus benar-benar jeli memperhatikan ‘dagangan’ mereka agar tak salah beli. Terutama mahasiswa stambuk 2015 dan 2016 yang belum terlalu paham kondisi politik kampus. Hati-hati suara konkawan dimanfaatkan oleh pihak-pihak pencari keuntungan! Jangan mau seperti lembu yang dicucuk hidungnya, memilih berdasarkan petunjuk apalagi ancaman senior.
Tentu saja ini merupakan hal yang penting dan tak sembarangan. Sebab kelak, dari proses politik ini akan lahir Presiden dan Wakil Presiden Mahasiswa USU yang baru. Setahun kedepan, mereka akan diamanahkan sebagai pemimpin mahasiswa USU untuk menjalankan roda ‘pergerakan’ kampus yang kita cintai ini.
Ini mungkin akan jadi pekerjaan rumah yang sangat panjang dan lama untuk menciptakan Pema USU sesuai peran dan fungsinya, tapi ayolah konkawan, jangan menyerah dulu pada keadaan! Lewat Pemilu USU 2017, mari berharap banyak agar Pema USU dapat kembali bernafas di tengah sekaratnya kekritisan mahasiswa.