Oleh: Sofiari Ananda
“Apabila media massa mengambil tempat di dalam masyarakat dan menjadi bagian dari suatu sistem masyarakat seluruhnya, maka logislah apabila asal mula pengaruh bukan dari media, melainkan dari masyakarat” -Jacob Oetama.
Melalui pernyataan di atas, Jacob Oetama menitikberatkan pada keberadaan media sebagai cermin, yakni dipengaruhi oleh realitas masyarakat. Dengan demikian realitas media dipandang sebagai bentukan makna yang berasal dari masyarakat. Saya setuju dengan teori ini. Sebenarnya media dan masyarakat merupakan salah satu contoh simbiosis mutualisme. Media membutuhkan masyarakat dan begitu pula sebaliknya.
Media butuh masyarakat sebagai target pasar mereka dan untuk kepentingan pemberitaan, sedangkan masyarakat membutuhkan media sebagai sumber informasi. Namun seiring dengan perkembangan media dan banjirnya informasi, fakta ini menjadi berat sebelah. Masyarakat bebas memilih media mana yang mau mereka konsumsi. Persaingan antar media membuat media berusaha keras memproduksi berita yang diinginkan—bukan lagi dibutuhkan—masyarakat. Media gila-gilaan berlomba cepat menyampaikan berita agar menarik perhatian masyarakat. Tujuannya, agar mereka tak gulung tikar.
Bukan hal yang baru dan salah jika media mengikuti keinginan dan kebutuhan masyarakat. Jika ditilik dari kulit paling luar, komunikasi massa memiliki karakteristik yakni media mampu menjangkau khalayak secara luas. Harus berusaha membidik sasaran tertentu. Komunikasi dilakukan oleh institusi sosial yang harus peka terhadap kondisi lingkungannya. Oleh sebab itu, untuk memahami media secara baik, kita harus memahami pula lingkungan atau masyarakat di mana media itu berada. Melalui karakteristik ini saja bisa dilihat bahwa komunikasi massa bekerja dari dan untuk masyarakat. Komunikasi massa harus punya tujuan khalayak yang jelas dan berupaya ‘memuaskan’ khalayak mereka.
Selain itu, jika dilihat dari segi pesan yang dibawa media massa, harus memiliki unsur-unsur tertentu agar dapat diterima dengan baik oleh massa antara lain media massa memuat pesan atau informasi yang dianggap menarik oleh khalayak. Selain itu, media massa juga tidak bisa meninggalkan substansi unsur pesan yaitu faktor “penting”. Media massa akan menerbitkan isi pesan yang dianggap penting untuk khalayak.
Penting atau tidaknya suatu pesan, menarik tidaknya suatu, pesan, baru tidaknya suatu pesan pada dasarnya ditentukan oleh massa. Kembali yang menjadikan pesan yang disampaikan media massa bernyawa adalah khalayak. Bagaimana media harus mampu menyajikan pesan (berita) yang menarik dan penting agar memiliki arti.
William dan Theodore dalam bukunya Media dan Masyarakat Modernmenuliskan media massa baru akan benar-benar berpengaruh jika sebelumnya ia berhasil menjalin kedekatan dengan khalayaknya. Media komunikasi massa dapat dan memang telah memengaruhi perubahan, apalagi jika itu menyangkut kepentingan orang banyak. Keberadaan teori ini semakin menguatkan pernyataan Jacob Oetama di atas. Semua yang berhubungan dengan media, bergantung pada masyarakat.
Apa yang dikatakan Jacob berhubungan dengan konstruksi realitas yang dilakukan media massa. Realitas media adalah realitas yang dikonstruksi oleh media dalam dua model. Pertama, model peta analog dan kedua adalah model refleksi realitas. Model peta analog adalah model di mana realitas sosial dikonstruksi oleh media berdasarkan sebuah model analogi suatu realitas itu terjadi secara rasional. Sedangkan model refleksi realitas yaitu model yang merefleksikan suatu kehidupan yang terjadi dengan merefleksikan suatu kehidupan yang pernah terjadi di dalam masyarakat. Bila diamati, Jacob condong mengarah pada model peta analog. Dimana media berusaha menyampaikan apa yang ingin diketahui masyarakat dan disampaikan serasional mungkin.
Dari teori-teori di atas, dapat ditarik kesimpulan pernyataan Jacob tidaklah salah. Sebenarnya tanpa harus berada dan menjadi bagian dalam masyarakat, media tetaplah dipengaruhi oleh masyarakat. Komunikasi massa, media, media massa tercipta dan ‘mengabdikan’ diri dari dan kepada masyarakat. Bukanlah disebut komunikasi dan media massa jika tidak bisa menyentuh masyarakat. Jika tidak dianggap penting oleh masyarakat. Lalu, agar diperhatikan masyarakat, maka media massa kini berada di bawah pengaruh masyarakat. Selain untuk benar-benar memenuhi karakteristik media massa, hal ini juga untuk kepentingan media itu sendiri. Di bagian ini, keuntungan dan materi berbicara. Tak ada masyarakat yang tertarik, maka tak ada keuntungan yang berakhir pada gulung tikar media. Tapi, Jacob tak sepenuhnya benar. Melihat realitas media sekarang, fokus media kini terbagi dua. Yakni mengikuti masyarakat dan kepentingan pemilik. Media diharuskan mampu memfasilitasi pemiliknya namun tetap melayani masyarakat. Intinya, pernyataan Jacob logis, namun ia tak boleh melupakan kuasa si pemilik media di sini.
Bagi saya, pemberitaan yang berujung opini publik itu sendiri berawal dari apa yang masyarakat inginkan untuk media angkat. Misalkan saja euforia sepak bola saat ini. Tingginya minat masyarakat tentang laga-laga sepak bola saat ini, membuat media berlomba menayangkan berbagai laga sepak bola yang berlangsung. Hal ini membuat prestasi yang diukir Indonesia di turnamen bulu tangkis All England 2013 luput dari perhatian masyarakat. Media minim sekali memberitakan prestasi ini karena perhatian masyarakat pada sepak bola yang terlampau berlebih. Mengikuti keinginan masyarakat, media gencar meng-updatesetiap laga sepak bola. Hasilnya, opini yang terbentuk di masyarakat adalah apa hasil tim A lawan tim B? siapa yang akan menang antara tim A dan tim B? Bukan suatu hal yang mutlak salah, tapi hendaknya media tak hanya mengikuti keinginan pemirsa tapi juga kebutuhan masyarakat.
Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU dan aktif sebagai Redaktur Foto di Pers Mahasiswa SUARA USU.