
Oleh: Muhammad Rifqy Ramadhan Lubis
Medan, wacana.org – Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatra Utara (Sumut) dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2025 menyebut bencana alam yang melanda Sumatera pada akhir November lalu bukanlah takdir, melainkan akumulasi kebijakan yang gagal. Hal ini disampaikan langsung oleh Direktur Eksekutif WALHI Sumut, Rianda Purba, di Tawan Irama Coffe, Selasa (23/12/2025).
Rianda menyebut bahwa peningkatan suhu air laut telah memicu cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi. Kondisi ini diperparah oleh laju deforestasi yang masif, terutama di wilayah khatulistiwa.
“Ancaman perubahan iklim bukan lagi sekedar ancaman jangka panjang melainkan sudah nyata di hadapan mata kita, dan tahapnya sudah masuk ke level krisis iklim,” ujarnya. Dalam lima tahun terakhir, WALHI mencatat sekitar 1,4 juta hektare hutan rusak dan beralih fungsi, baik melalui mekanisme legal maupun ilegal.
Rianda juga menyebut dampak paling terasa terjadi di wilayah dengan tingkat deforestasi tinggi, salah satunya Tapanuli Raya yang ditopang oleh ekosistem penting Batang Toru. Ia mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, setidaknya 10.500 hektare hutan di kawasan tersebut telah hilang, mengancam keseimbangan ekologis sekaligus keselamatan masyarakat.
“Ketika tidak ada lagi kanopi hutan, air hujan langsung turun ke permukaan tanah. Kayu-kayu gelondongan sisa tebangan untuk pembangunan infrastruktur, tambang, dan alih fungsi lahan kemudian membentuk bendungan alami. Saat bendungan itu pecah, terjadilah banjir bandang,” jelasnya.
Ahli Kebencanaan Yayasan Pusaka, Marjoko, juga menambahkan bahwa dampak dari kebijakan yang gagal dan kerusakan ekologis ini tidak berhenti pada statistik kerusakan hutan atau peningkatan suhu, melainkan berujung pada hilangnya ruang hidup masyarakat.
Menurut Marjoko, WALHI Sumut perlu memastikan bahwa respons darurat terhadap bencana dilakukan secara terukur, terarah, dan berbasis kebutuhan nyata masyarakat. Ia merasa kehadiran organisasi tidak hanya menjadi simbol solidaritas, tetapi benar-benar menjawab krisis kemanusiaan yang muncul akibat bencana ekologis.
“WALHI Sumut perlu memiliki perencanaan yang jelas. Kebutuhan mendesak saat ini adalah hunian sementara sebelum warga masuk ke hunian tetap. Ini catatan penting yang harus direncanakan,” tegas Marjoko.



