“Usia 25 tahun idealnya punya apa? Punya tabungan 100 juta, cicilan rumah sisa 20% lagi beres, punya kendaraan pribadi, gaji minimal 8 juta,” kutip sebuah unggahan yang sempat viral di Instagram.
Cuitan itu awalnya ramai di Instagram hingga akhirnya turut diramaikan juga di Twitter. Salah satu penyanyi yaitu Fiersa Besari juga ikut berkomentar. “Pencapaian tiap orang berbeda. Ada yang punya banyak uang di usia 25 tahun, ada juga yang baru punya penghasilan di usia tua. Ya, namanya juga rezeki datangnya ngagetin. Engga tahu kapan, engga tahu di mana, dan yang pasti, engga tergantung usia. Ikhtiar saja, lur,” cuitnya.
Manusia sedari kecil dan mungkin saja dari dalam kandungan sudah mulai diterapkan beberapa standar di dalam hidupnya. Seperti standar normal ukuran bayi dalam kandungan, standar berat badan balita yang baik, dsb. Standar tersebut wajib dipatuhi dan dibenarkan adanya karena berfungsi memberikan ukuran bagaimana suatu hal dapat dikatakan berjalan dan berfungsi dengan benar. Sesuai Clinical Practice Guidelines, standar adalah keadaan ideal atau tingkat pencapaian tertinggi dan sempurna yang digunakan sebagai batas penerimaan minimal.
Lalu bagaimana dengan standar yang diperbuat orang pada saat ini seperti:
“Umur 20 tahun seharusnya sudah bisa memiliki pemasukan sendiri.”
“Umur 25 seharusnya wanita itu sudah menikah.”
“Cantik itu yang kulitnya mulus, glowing dan putih.”
“Cantik itu ya kurus.”
“Seharusnya di usia 22, sudah lulus kuliah.”
Standarisasi dengan contoh di atas tentunya dibuat oleh masyarakat. Seseorang yang memiliki hal-hal tersebut dianggap lebih mapan, sempurna, dan superior dibandingkan dengan mereka yang tidak memilikinya. Tapi apakah ini standar yang wajib diikuti? Yang ukurannya menentukan bagaimana suatu hal dikatakan berjalan benar seperti standar ukuran bayi di atas? Nyatanya tidak. Kualitas hidup seseorang tidak ditentukan oleh standar yang hadir di masyarakat.
Standar yang hadir di masyarakat cenderung menjadikan materi dan kecantikan seseorang sebagai indikator kualitas hidup. Sangat jarang standar di masyarakat mencakup bagian psikologi seseorang. Padahal menurut Goodinson dan Singleton di buku Measuring Quality of Life in Health (1993) karangan O’Connor, kualitas hidup diartikan sebagai tingkat kepuasan hidup individu pada area fisik, psikologis, sosial, aktivitas, materi, dan kebutuhan struktural.
Saya sangat mengherankan kenapa kesenangan individu tidak dijadikan sebuah standar di masyarakat kita. Mengapa standar-standar seperti ‘harus memiliki suatu hal di usia segini’, ‘harus memiliki wajah rupawan’, ‘harus memiliki materi berlimpah’, yang dijadikan suatu standar mutlak di masyarakat kita. Padahal seharusnya yang jadi perhatian utama kita adalah kesenangan individu. Hal ini juga sesuai dengan teori hedonisme psikologis bahwa semua tindakan kita bertujuan untuk meningkatkan kesenangan dan menghindari rasa sakit.
Lalu apakah mengikuti standar tersebut dapat meningkatkan kesenangan kita atau malah membuat kita semakin tertekan? Berdasarkan penelitian yang dilakukan Mental Health Foundation yang diikuti lebih dari 4000 partisipan menemukan bahwa kehidupan ideal yang digaung-gaungkan di media tidak hanya merusak kepercayaan diri tetapi juga memiliki pengaruh yang buruk terhadap kesehatan mental seseorang.
Saya rasa masyarakat harus mulai berhenti menggaung-gaungkan standar konyol seperti itu terutama di internet karena ada banyak hal yang tidak mendukung manusia agar dapat memenuhi standar itu. Dengan menggaungkan-gaungkan standar seperti itu, manusia akan merasa dirinya bukanlah orang yang memenuhi suatu kelayakan di masyarakat padahal mereka sedang berproses.
Mengapa saya mengatakan orang yang sedang berproses? Karena standar-standar seperti itu sangat banyak bermunculan di media sosial, yang berdasarkan laporan Statista pada tahun 2020, penggunanya di Indonesia paling banyak berusia 25-34 tahun dan posisi kedua usia 18-24 tahun. Rentang usia tersebut menurut analisis demografi masuk bagian usia produktif, yang mana mereka dalam keadaan berproses menuju hidup yang lebih layak. Ketika melihat standar-standar tersebut bermunculan di sosial media, mereka akan merasa worthless.
Saya pun mulai bertanya-tanya mengapa standar itu terus bermunculan di masyarakat dan masih banyak yang mengikutinya. Bahkan, menganggapnya sebagai hal yang harus diterapkan ke dirinya meski standar-standar ini semakin tidak masuk akal dan memusingkan kepala. Hal ini tidak terlepas dari sifat manusia yang cenderung mengikuti orang lain dengan alasan agar dapat diterima di masyarakat dan demi memenuhi kelayakan hidup yang dibuat oleh masyarakat. Manusia melihat orang-orang yang memiliki standar tersebut cenderung diterima dan akhirnya mengikuti standar-standar itu.
Standar-standar yang bikin sakit kepala itu bakalan terus ada, bahkan mungkin cenderung semakin tidak masuk akal seiring berkembangnya zaman. Hal yang bisa kita lakukan men-setting standar kita sendiri. Dikarenakan, kita tidak sedang hidup di kehidupan orang lain, akan sangat konyol standar orang lain dengan keadaan yang dimilikinya dijadikan standar hidup kita juga dengan keadaan hidup kita yang sangat berbeda dengan orang tersebut.
Marilah mulai menerapkan standar yang masuk akal untuk diri sendiri.