
Oleh: Winny Stefanie
Medan, wacana.org – Lokakarya yang digelar oleh Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) menghadirkan tujuh informan kunci dari tokoh masyarakat adat yang terdampak konflik agraria di Sumatra Utara (Sumut). Acara yang diisi sesi diskusi bersama kelompok tani dan masyarakat adat ini berlangsung di Hotel Grand Antares Medan, Jumat (29/8/2025).
Salah satu tokoh dari Kelompok Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan Dolok Parmonangan, Sorbatua Siallagan, menceritakan pengalamannya saat hutan adat yang merupakan warisan nenek moyang mereka ditebang tanpa konfirmasi.
“Tiba-tiba suatu perusahaan menebang pohon yang ditanam nenek moyang kami dan mengatakan itu sudah menjadi milik negara. Polisi juga berkeliaran di lahan kami dan meminta bukti kepemilikan hutan itu,” ungkapnya.
Pada tahun 2024, akibat tuntutan yang dilayangkan Sorbatua terkait kepemilikan hutan tersebut, ia menerima perlakuan buruk dari polisi daerah setempat. Hal itu terus berlanjut hingga akhirnya ia ditangkap dan dipenjara selama 2 tahun 6 bulan, serta dikenai denda sebesar Rp1 miliar. Meskipun akhirnya tuntutan tersebut dapat dibantah dan dimenangkan oleh pihak Sorbatua.
Selain Sorbatua, beberapa tokoh kelompok tani dan masyarakat yang hadir, di antaranya ialah Bengkel Sinuhaji, Rimson Parhusip, Rainim Purba, Mangitua Ambarita, Rumenti Pasaribu, dan Jonris Simanjuntak.
Membahas tentang konflik agraria di Sumut, Akademisi Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen, Dayat Limbong, berpendapat bahwa sering kali penetapan aturan tidak sejalan dengan yang diterapkan.
“Kementerian sering menyampaikan peraturan, tapi tidak ada sinkronisasi. Kebanyakan kasus tentang kepemilikan tanah juga hanya ditandatangani oleh menteri tanpa sepengetahuan masyarakat setempat. Banyak aturan yang dipelesetkan oleh pemerintah,” ujarnya.