
Oleh: Muhammad Rifqy Ramadhan Lubis
USU, wacana.org – Sejumlah mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) gelar aksi damai memperingati tragedi “September Hitam” di depan pintu satu USU. Aksi ini dipelopori mahasiswa Ilmu Sejarah bersama beberapa mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP). Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Ilmu Sejarah (HIMIS) USU, Adian Torang Sihotang, Jumat (12/9/2025).
Torang menjelaskan aksi dilakukan sebagai peringatan atas rentetan peristiwa pelanggaran HAM dalam sejarah Indonesia. Terkhusus, yang terjadi sepanjang bulan September silam. “Saat masyarakat menuntut keadilan, sering kali aparat melakukan tindakan kekerasan, bahkan pembunuhan. Jadi kita selaku mahasiswa harus selalu mengingat dan mengusut tuntas segala tindakan represif tersebut,” lugasnya.
Aksi damai diawali diskusi publik, antara mahasiswa dengan perwakilan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatra Utara (Sumut), Aulia Rahman. Diskusi tersebut membahas tentang rangkaian pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.
Massa lalu bergerak menuju pintu satu USU untuk menggelar aksi damai dan penyampaian orasi. Dilanjutkan dengan penyalaan lilin dan menabur bunga, serta doa bersama untuk para korban pelanggaran HAM. Aksi kemudian ditutup dengan dibacakannya pernyataan sikap mahasiswa USU.
Torang juga mengungkapkan jalannya aksi berlangsung tertib dan damai. Meski demikian, massa aksi tetap mendapat pantauan dari aparat kepolisian. “Kondisinya stabil dan lancar, hanya saja kami selalu diperhatikan oleh Intel dari Polres Medan. Kami tidak tahu apa alasannya,” pungkasnya.
Salah satu mahasiswa Kesejahteraan Sosial 2023 yang menjadi peserta aksi, Lestari Silalahi, juga mengatakan keseluruhan aksi berlangsung damai tanpa provokasi. “Mulai dari diskusi, penggalangan massa, penyusunan pernyataan sikap, sampai aksi berlangsung. Ini bentuk nyata solidaritas kolektif,” ungkapnya.
Ia juga berharap aksi damai dapat menjadi ruang refleksi bersama. “Kami ingin publik kembali mengingat bahwa masih ada luka sejarah yang belum sembuh. Menjadi tugas kita bersama untuk mendorong negara menuntaskan pelanggaran HAM secara adil dan transparan,” harap Lestari.