
Oleh: Muhammad Rifqy Ramadhan Lubis
Medan, wacana.org – Sejumlah massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil Sumatra Utara (Sumut) melakukan aksi gerak bersama dalam peringati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP). Aksi yang membawa tema “Hentikan Kekerasan, Wujudkan Keadilan dan Kesejahteraan” ini berlangsung di depan Gedung DPRD Sumut, Kamis (4/12/2025).
Aksi diinisiasi oleh sejumlah komunitas di Sumut, yaitu Perempuan Hari Ini (PHI), Cangkang Queer, Perkumpulan Transgender Sumatera Utara (Petrasu), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumut, Yayasan Srikandi Lestari (YSL), perwakilan masyarakat adat Sihaporas, serta jaringan mahasiswa dari berbagai kampus di Medan.
Perwakilan PHI, Tessa, menyebutkan bahwa pelaksanaan ini untuk menolak ketidakadilan, serta menuntut pemulihan dan keadilan para korban kekerasan. Rangkaian kegiatan dimulai dengan penyampaian aspirasi oleh massa, serta permainan “kucing dan tikus”, sebagai bentuk kritik pada pemerintah. “Dalam permainan itu, tikus direpresentasikan sebagai pemerintah atau pejabat yang merenggut sumber daya alam Indonesia,” ujarnya.
Aksi juga diisi dengan kesaksian masyarakat adat Sihaporas, yang membacakan tujuh tuntutan utama, yaitu; (1) Penghentian femisida dan Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE), (2) Penanganan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), khususnya terhadap perempuan muda dan perempuan dengan disabilitas.
Kemudian, (3) Perlindungan perempuan dalam situasi krisis iklim, penggusuran, dan Proyek Strategis Nasional (PSN), (4) Penyediaan akses aborsi aman bagi korban kekerasan seksual, (5) Perlindungan terhadap Perempuan Pembela HAM (PPHAM), (6) Penanganan kekerasan dalam dunia kerja, termasuk PHK massal dan kerentanan pekerja migran, serta (7) Penanganan kekerasan dalam relasi personal dan domestik.
Usai pembacaan tuntutan utama tersebut, massa aksi bergerak menuju Pos Bloc Medan, untuk melanjutkan Aksi Kamisan. Dilakukan pula galang dana bagi masyarakat terdampak bencana wilayah Sumatra. Aksi ditutup dengan doa bersama dan tabur bunga, sebagai bentuk penghormatan korban bencana di Sumatra Utara, Aceh, dan Sumatra Barat.
“Kita tidak luput bersolidaritas untuk korban bencana alam di Sumut, Aceh, dan Sumbar. Hari ini, kita lakukan doa bersama dan tabur bunga sebagai simbol bahwa pemerintah lamban dalam menangani kasus serta abai terhadap suara rakyat,” pungkas Tessa.
Salah satu peserta aksi dari Universitas Harapan Medan, Derry Erlangga, berpendapat bahwa realisasi hak-hak perempuan masih jauh dari memadai. Ia menilai perempuan masih berada dalam situasi yang rentan, termasuk dalam aspek keamanan dan kenyamanan di lingkungan kerja.
“Hak terhadap perempuan masih minim sekali realisasinya. Semoga dengan adanya aksi ini, keadilan perempuan dapat lebih diperhatikan, korban kekerasan bisa mendapatkan keadilan, serta angka kekerasan pada perempuan dapat dihapuskan,” harap Derry.



