BOPM Wacana

Perempuan di Tanah Hierarki

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Putra P Purba

 

Oleh: Putra P. Purba

“Aku berada di tanah cendala dalam tatanan mahajana. Mampu menatap, namun tak sanggup bersuara.”

Aku tatap sekali lagi nisan yang sudah berdiri tegak itu. Rasanya mataku enggan mengeluarkan airnya. Aku hanya menatap lekat tulisan yang terpampang di sana. Ridwan, laki-laki yang telah mempersuntingku tiga tahun lalu telah tiada.  Kini, rasanya enggan melangkahkan kaki untuk pergi. Aku ingin terus menemaninya disini. Di peristirahatan terakhirnya.

***

Alunan gamelan calung berbunyi, aku mulai melenggak-lenggokkan badan.  Larut malam yang dingin, diisi pesta rakyat megah di kampung sebelah. Riuh dan berisik. Aku penampil pertama dalam pesta bangsat ini. Puluhan lelaki mata keranjang mulai menggodaku. Memberi saweran dari 5.000 sampai 100.000 rupiah. Sungguh aku tak kuat keadaan ini. Ingin rasanya kutonjok kepala keparat itu satu persatu tapi Mbakyu Darmiah, bosku, pasti akan memecatku. Mereka menuntutku. Jadi, aku terus melenggak-lenggokkan tubuh mengikuti alunan musik. Diselingi jeri-jemari mereka yang sengaja mencolek pipiku. Jijik.

Namun, ini kulakukan demi Sukma, putri semata wayangku. Ibu memintaku untuk meneruskan pekerjaannya. Penari Lengger di Banyumas, tempat kelahiranku. Membayangkannya saja sudah membuatku muak. Setiap malam aku harus menggoyangkan badan dari desa ke desa. Bersama laki-laki mata keranjang yang akan menggodaku. Tapi kalau tidak kulakukan, bagaimana nasib Sukma? Aku tidak mau mengkhianati pesan  mendiang Ibu yang sudah terlanjur ku iyakan.

Kini aku pindah mengikuti rombongan pentas ke desa Purbalingga, tempat kediaman suami Mbakyu. Sampai di rumah, rombongan langsung disambut oleh suaminya. Widodo. Seorang laki-laki tua, mungkin hampir seumuran ayah jika masih hidup, hanya lebih jelek, dan menggelikan dengan berewok yang berantakan, seperti tak terawat. Memandang tajam ke arahku yang paling terakhir masuk di kediamannya bersama Sukma di dalam dekapan.

“ Itu putri sematang wayangmu, Laras? Siapa namanya ? “ tanyanya sambil mengedipkan mata kiri menggoda.

“Iya, mas. Sukma,” jawabku singkat.

Sejak Ridwan tiada, Widodo memperlihatkan ketertarikannya denganku. Ia selalu menggodaku ketika Mbakyu sedang sibuk mengurusi pentas maupun rias penari lain. Namun, dia tidak pernah melihat kehadiran Sukma karena dua tahun lalu mengurusi usaha mebelnya disini yang hampir gulung tikar. Kini, usahanya sudah membaik. Muak rasanya ketika aku dekatnya. Sering kali dia menggoda ketika aku mempersiapkan penampilan di belakang panggung.

***

Adzan subuh berkumandang. Seluruh tubuh dan kulitku lengket dan terasa sakit. Rambut yang biasanya lembut kini menempel ketat seperti ada lem di atas kepalaku.

Seketika kesadaranku muncul dan bisa berpikir jernih, diriku berada di sebuah kamar yang tak dikenal. Seperti kamar penginapan. Mungkin motel bintang dua dugaanku.

“Ini dimana?” Aku mulai resah dan mencoba mengingat kejadian semalam. Samar-samar, aku mulai mengingat. Semalam ada pesta rakyat dari pejabat kaya raya yang sedang mencalonkan diri sebagai  legislatif. Kami harus mengisi orderannya. Reputasinya terkenal sekampung karena sikap yang menginjak-injak kasta wanita. Demi kesenangan belaka.

Aku berusaha mengingatkan walau kepala pusing memikirkannya. Aku mengingat perawakan seorang laki-laki  saat memelukku dari belakang ketika pulang tanpa bersama rombongan pentas. Aku berpisah dengan rombongan dikarenakan harus membeli stok susu bubuk untuk Sukma di warung. Ahh… Sukma dimana putriku? pikiranku malah tertuju ingin mengetahui kondisinya.

Perlahan-lahan kugerakan tubuh yang berbaring miring. Mengerang  karena tulang-tulangku terasa kaku. Aku telentang menatap langit-langit kamar, tiba-tiba terkesiap menyadari bahwa tak sehelai pakaian pun yang kukenakan. Aku telanjang di atas ranjang meski separuh tubuhku tertutup selimut.

Apa yang terjadi? Pikiranku  semakin panik. Berharapan tak seorang pun tengah berbaring di sisiku. Harapan itu  terkabul. Namun, bukan berarti aku  boleh merasa lega.  Rasa sakit dan nyeri yang tak bisa dijelaskan, membuat aku menginginkan penjelasan segera. Aku mencoba turun dari tempat tidur. Aku melihat pakaian pentas semalam berserakan di lantai,. Aku tak peduli. Aku harus segera mengetahui apa yang terjadi. Aku pun membebat tubuhku dengan selimut dan terhuyung-huyung menuju pintu.

Yah, aku ingat  jelas laki-laki itu sekarang. Orang yang sama saat berpidato di depan warga kampung.  Tentu saja, Pak Jaelani, caleg tersebut. Biadab. Pikiranku semakin bercampur tak tentu. Hasratku kini ingin menghantam kepala bajingan itu.

Segera kukenakan  pakaian yang berserakan itu demi menuntaskan hasrat yang semakin tinggi. Aku mngetahui alamat rumah si keparat itu. Tak sampai 15 menit dengan menggunakan ojek dekat motel aku sampai di rumahnya. Segera aku turun dan mengetuk pintunya.

Tak berapa lama, aku melihat wajahnya mengenakan sarung dan peci.  Dengan sekali hantaman kepalan tanganku mendarat tepat di hidungnya. Seketika  tulangnya  retak dan mengeluarkan darah. Belum puas, kuhantam lagi pipinya. Ku lirik di belakangnya berdiri perempuan yang tak kalah cantik dengan diriku. “ Hei, jangan kau pukuli lagi Kangmas, Tolong… tolong…” teriaknya sambil memegang wajah si keparat itu.

“Dasar kurang ajar, sudah cantik nan rupawan istrimu, malah menodai aku lagi, “ umpatku sambil meludahinya.

“Aku sudah membanyarmu ke Widodo. Namun ini yang kudapat. Tanya saja kepada dia,” ujarnya kesakitan.

Aku tak habis pikir perbuatan keji dan tega, tapi kedua tanganku ditahan warga kampung dan membawaku ke balai desa. Jika ada yang membuat kerusuhan di kampung bukan dibawa dan diadili  pengadilan, melainkan ke Balai desa. Diadili para pinisepuh desa. Itulah di sini.

***

Seminggu aku ditahan di balai desa, kemudian para pinisepuh berkumpul. Pasti mereka akan membicarakanku. Meskipun aku tak bersalah atas kelakuan itu.

Aku disuruh duduk saja di tengah ura-ura, menjadi tontonan warga yang mencelaku layaknya binatang ternak. Dasar bangsat. Sepertinya keadilan berpihak kepada si keparat. Siapa yang menjadi korban disini? Aku atau dia? Sialan.

Dari sore sampai malam, aku diadili. Benar saja. Apa yang aku mimpikan tadi malam bukan hanya ilusi. Aku dikenakan hukum adat oleh mereka para kumpulan lelaki tua. Tanpa keadilan yang bisa kutuntut. Kini, diriku harus mendekap dengan sanksi adat dan sosial.

Warga kampung mulai memandangku  sinis.  Bukan simpati yang kudapat, malah cemohan tetangga.  Aku dianggap lalai menjaga kehormatan. Perempuan penggoda . Mereka sebut  demikian. Tiba-tiba dalam lamunan hatiku berbisik, “ Apakah  tanah ini melanggengkan tindakan ‘kotor’ tanpa keadilan?”

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4