Oleh: Dewi Annisa Putri
Ia hijau dan merah dan ungu dan kuning dan biru
mereka bergelantungan di langit langit tanpa atap
di jalan yang lebar yang diapit sebuah taman dan makam pahlawan
di mana yang satunya selalu ramai dan sunyi pada satunya lagi
yang satunya asri dan dipenuhi bunga warna-warni kembang-kuncup
yang lainnya penuh debu dan segala bentuk cacing semut dan rumput liar
Di jalan itu lampu kota hijau dan merah dan ungu dan kuning dan biru
bergelantungan di langit-langit menerangi rambut hitam panjangnya
ia berdiri di bawah mereka dan kulitnya menghijau
memerah mengungu menguning dan membiru
melangkah anggun dengan segala rasa percaya diri dan mempertanyakan diri
Lima jam lalu dari saat itu, mata lampu kota dan matanya menyala bersamaan
mereka abu-abu namun berubah hijau dan merah dan ungu dan kuning dan biru
sebab mereka sama dan senasib meski ia tak percaya takdir dan apa pun
tak ada yang butuh lampu kota dan dirinya di siang hari
hanya itu yang diyakini dirinya dan para lampu kota
Pukul dua belas malam, perempuan dan lampu kota hanya berdiam diri
bergemerlap dengan warna tanpa bunyi tanpa ekspresi
lima jam dari saat itu, mereka sama-sama tahu akan kembali menutup mata
sesaat tak akan lagi hijau dan merah dan ungu dan kuning dan biru
hingga matahari pergi dan para bintang datang kembali