
Oleh: Dinar Fazira Fitri dan Muhammad Rifqy Ramadhan Lubis
Dengan gaya atap dan suasana yang khas, lapo tuak di sekitar USU jadi tempat nongkrong yang rutin disambangi oleh mahasiswa
Kala melewati daerah Padang Bulan Selayang, tepatnya di jalan Harmonika Baru, kini terlihat pemandangan yang tak asing menyapa netra. Dalam langkah sekitar satu kilometer sekali, akan tampak pondok-pondok beratap rumbia, berjejer sepanjang jalan tersebut. Ramainya terasa jika matahari mulai terbenam dan langit semakin pekat. Riuh obrolan, genjrengan gitar, alunan nyanyian dengan suara bariton, suatu hal yang paling melekat dari tempat ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, lapo tuak tumbuh menjamur menghiasi sudut lingkungan sekitar kampus. Sebenarnya, tradisi minum tuak itu sendiri sudah lama lekat dan menjadi identitas Suku Batak. Dalam tradisi masyarakat Batak, tuak hadir sebagai bagian dari ritus kegiatan adat. Seperti upacara Mangulosi, pesta pernikahan, musyawarah adat, Martonggo Raja, ataupun upacara kematian.
Tuak adalah minuman tradisional hasil fermentasi nira (cairan dari pohon enau, aren, atau kelapa) yang telah dikenal sejak zaman prasejarah di berbagai wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dalam identitas Suku Batak, tuak memiliki posisi yang tidak sekadar sebagai minuman pelepas dahaga, melainkan sarat akan nilai sosial, spiritual, dan budaya.
Tuak tak hanya disajikan dalam hajatan besar, tetapi juga menjadi minuman harian yang menyertai percakapan di lapo. Meski begitu, lapo tuak tradisional sering kali mendapat stigma buruk di masyarakat. Masyarakat umum sering mengidentikkan lapo tuak sebagai tempat kumpul bapak-bapak, sekadar tempat mabuk, dan jauh dari nilai-nilai modern.
Stigma yang tertanam pada lapo tuak

Di tengah perkembangan zaman, lapo tuak juga mengalami akulturasi. Tanpa menghilangkan budaya aslinya, konsep yang dihadirkan lapo tuak di sekitar USU kini terkesan lebih modern dan menarik perhatian anak muda. Salah satunya Laborta, yang berdiri di antara lapo tuak modern lain pada persisian jalan Harmonika Baru.
Dengan sesapan rokok di bibir dan segelas tuak di hadapan, pemilik Laborta yang akrab dipanggil Opung Tanggang, menceritakan inginnya hadirkan Laborta untuk menyegarkan citra lapo tuak. “Ketika orang nengok lapo tuak, biasanya langsung negatif. Jadi, bagaimana cara kita mengubah pola pikir itu, dengan cara buat konsepnya jadi lebih modern,” ujarnya pada Kamis (5/6/2025).
Laborta lahir dari keinginan menghapus stigma lama dan menciptakan ruang yang menarik untuk anak muda. Legalitas pun tak luput dari perhatian. Laborta berdiri dengan izin UMKM dari kelurahan setempat. Hal ini menjadi penting, mengingat banyak lapo tuak tradisional yang beroperasi secara informal dan rentan mendapat razia atau penggusuran.
Tiap harinya, lapo tersebut tidak pernah absen didatangi mahasiswa. Pemikat jitu Laborta dan lapo kekinian terletak pada suasana yang mereka tawarkan, tak ketinggalan menggandeng unsur hiburan. Hal itu dapat dilihat dari nuansa Laborta yang mulai bergaya kekinian, tata letak bangku yang rapi, pagar kayu bergaya minimalis, lampu-lampu temaram, dan panggung untuk live music.
Kasir Laborta yang sudah bekerja hampir dua tahun, Nicholas Saputra, hendak mengenalkan pada orang-orang dari mana daerah asli tuak berasal. “Dulu kan, masih kecil lah tuak di Medan ini. Kita bawakkan bagaimana supaya tuak ini makin maju, dilihat oleh orang-orang daerah luar,” ucapnya.
Pula, ia merasa keistimewaan lapo tuak yang menarik minat para mahasiswa, karena para karyawan selalu merangkul pengunjung yang datang.
“Kami selalu merangkul peminum-peminum,” timpal Nicholas.
Selain itu, Laborta rutin menggelar live music dua kali dalam seminggu. Tiap Kamis dan Sabtu malam, hadir tema “Kamis Manis” dengan menampilkan lagu romantis Indonesia/Inggris. Adapula “Batak Night” yang khusus menggemakan lagu-lagu Batak. Usungan konsep inilah yang mendekatkan generasi baru pada tradisi lama.
Jika dibandingkan dengan lapo tradisional, perbedaan jelas terasa dari suasana. Nicholas menyoroti dulunya para peminum kebanyakan main gitar dan berkubu-kubu. Tapi sekarang, dengan adanya live music para peminum bisa menikmati nyanyian bersama. “Biar jangan satu meja aja yang asyik. Harus rame-rame, kita kan satu lapo, sama-sama minum juga,” tandasnya.
Cita rasa tuak tak lekang oleh zaman

“Langsung dari pohon turun ke laponya,” cetus Opung Tanggang.
Laborta mengambil tuak langsung dari desa Sibiru-Biru, Namorambe, yang bekerja sama dengan paragat (penyadap nira Batak) setempat. Dengan kata lain, Laborta menghindari perantara, atau yang biasa disebut penampung tuak. Mereka mengambil tuak segar setiap hari agar kualitasnya terjaga. “Tuak segar” diartikan dengan tuak yang selalu diganti tiap hari, tak ada istilah menumpuk.
Dalam sehari, Laborta bisa menghabiskan sekitar 120 liter tuak. Kadang kala naik hingga sekitar 200–220 liter, ketika ada acara musik. Jika masih ada tuak tersisa, maka tuak tidak dibiarkan basi. Stok tersebut dikembalikan kepada paragat atau pemasok agar diolah kembali. “Kadang bisa buat gula aren, kalau kualitasnya memang masih layak jual. Mereka jual ke agen tadi, untuk fermentasi tiga sampai lima hari jadi layak minum,” ungkapnya.
Walaupun tuak sudah menjadi citra khas lapo, tetapi pilihan minuman non-alkohol tetap tersedia. Ini wujud keinginan mereka hadirkan lapo bernuansa modern dan tampil lebih ramah buat perempuan. “Jadi selain tuak, kita juga jual jenis minuman non-alkohol seperti lemon tea, ice tea, cocktail yang non-alkohol, untuk jadi pilihan cewek-cewek yang tidak minum,” imbuh Opung Tanggang.
Langkah sederhana ini menjadikan perempuan yang sebelumnya enggan datang ke lapo karena stigma atau ketidaknyamanan, kini mulai merasa diterima. Suasana lapo pun menjadi lebih cair, tidak lagi eksklusif milik laki-laki, tapi jadi ruang ngobrol santai lintas generasi dan gender.
Itulah yang dirasakan oleh perempuan bernama Dhea Della, dirinya berasal dari daerah Parapat yang sangat rekat dengan kultur minum tuak. Suasana antara lapo tradisional dan modern, sudah ia rasakan keduanya. Di kampung halamannya saat ini, masih bertahan lapo-lapo tradisional yang rata-rata memang diisi oleh orang tua, khususnya bapak-bapak.
Suasana yang ia rasa paling mencolok, di lapo modern pengunjung laki-laki dan perempuan sama banyaknya, tak ada yang mendominasi. “Suasana, rasa tuak, dan cuaca. Kalau di kampung, rasa tuaknya lebih enak dan diterima di mulut. Suhu dan cuacanya juga lebih nyaman. Karena di sana dingin, jadi tuak bisa ngasih efek hangat ke tubuh,” ungkapnya pada Rabu (9/7/2025).
Walaupun banyak tempat nongkrong modern lain, menurutnya lapo menawarkan suasana keakraban yang jadi daya tarik tersendiri. “Tuak itu simbol budaya Batak yang menggambarkan persaudaraan, penghormatan, dan kebersamaan,” tambahnya.
Segi pandang mahasiswa

Dhea beranggapan, lapo mulai beralih lebih modern sehingga wajar saja untuk didatangi perempuan. Meski, tetap ada aspek-aspek yang perlu diperhatikan. “Masih ada stigma sosial di sekitar kita, perempuan yang nongkrong malam hari di lapo, kadang masih dinilai tidak pantas. Sebenarnya bukan soal salah atau benar, tapi kita tetap perlu sadar risiko sosialnya atau pandangan orang sekitar,” lugas Dhea.
Menjamurnya lapo tuak bergaya modern di sekitar kampus, menyentuh titik temu antara kebebasan mahasiswa, tanggung jawab sosial, dan nilai pendidikan. Yang membuat itu punya dampak negatif atau positif tergantung dengan perilaku konsumen, operasional laponya, dan kontrol sosial. “Harus disertai kesadaran dan pengelolaan yang sehat dari mahasiswa dan pemilik lapo. Itu kembali ke personal masing-masing orang,” pungkasnya.
Salah satu mahasiswa USU, Daniel Gurning, melabeli diri sebagai orang yang aktif nongkrong di berbagai lapo di Medan. Kini dirinya menjadi pelanggan tetap Laborta, dalam seminggu ia bisa bertandang tiga sampai empat kali. Menurutnya, suasana Laborta buat ia merasa lepas dan tanpa beban. “Lapo itu tempat minum, tempat santai, karena mereka semua seru lah orangnya,” celetuknya.
Bagi Daniel, lapo tuak adalah titik temu mahasiswa buat saling kenal dan bisa spontan saling bercerita. Ada kalanya ia datang bersama teman, kadang pula ia datang sendiri, karena yakin di lapo pasti ada teman. Nuansanya berbeda dengan ngopi biasa di kafe, di lapo percakapan menjadi lebih hidup dan akrab antaranggota.
Ia ingat betul tradisi lama di kampung, orang tua sering kali berkumpul di lapo tuak untuk bicara politik dan berbagi informasi. Kekuatan tuak sebagai perekat sosial pun diakui secara luas. Hal ini bisa ditilik dari pengunjung yang awalnya asing, tak jarang berakhir menjadi akrab.
Dengan ragam umur dan latar belakang pendidikan, mereka saling sapa dan ngobrol santai. Berbicara tentang kuliah, pekerjaan, isu kampus, hingga isu politik. Kini, lapo tuak yang bertitik di sekitar kampus tidak hanya sekadar tempat minum, tapi menjelma jadi media bersosialisasi yang lebih luas.