
Oleh: Jennifer Smith L. Tobing
“Nggak ada bos, nggak ada tekanan. Suka-suka, mau kerja ya kerja. Cocok kali sama aku”
Begitulah kata Ricky Yohannes Sitanggang, mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Sumatera Utara (USU) yang saban hari menyusuri jalanan Medan sebagai pengemudi ojek online (ojol). Tanpa jaket hijau ataupun atribut mencolok, Ricky tetap sigap mengantar penumpang lewat aplikasi inDrive.
Keputusan ngojol bermula dari kebutuhan kuliah lapangan ke Kabanjahe dan Berastagi. Biaya perjalanan, penginapan, dan makan tak sedikit. Ricky merasa berat jika semua itu harus dibebankan ke orang tua. Maka, ia memutuskan untuk mencari uang sendiri. “Waktu itu butuh duit, tapi nggak mau minta orang tua,” katanya sembari tertawa ringan. Sejak itulah, ngojol jadi rutinitas yang ia lakoni hampir setiap hari.
Ricky tak punya jam kerja pasti. Ia menarik ojek saat ada waktu luang. Kalau ada jeda kelas dua jam, motor langsung dinyalakan. Selesai kelas sore, ia langsung tancap gas, menyusuri Medan dari simpang ke simpang. Tiap harinya, hasil yang didapatkan cukup beragam, ia bisa dapat Rp150 ribu saat ramai, dan bisa juga dapat Rp70 ribu saat sepi. Setelah dua kali mengisi bensin, ia biasanya masih bisa membawa pulang penghasilan sekitar Rp110 ribu hingga Rp120 ribu.
Ia menyebut ngojol sebagai pekerjaan yang cocok dengan ritme kuliahnya. Tidak terikat waktu, tidak ditekan target, dan bisa diatur sendiri. Ricky seolah sudah hafal pola waktu ramai, sepi, hingga ke mana arah tujuan favorit mahasiswa. Ia perhatikan, destinasi andalan yang kerap disambangi mahasiswa adalah Sun Plaza dan Podomoro.
Terkadang ia merasa lucu ketika melihat kelakuan mahasiswa yang malas jalan kaki, bahkan dengan jarak tempuh yang lumayan dekat. Ricky sering menerima order dari satu fakultas ke fakultas sebelah, atau dari kos-kosan ke gerbang kampus. Tapi ia tidak ambil pusing. Kalau mereka malas jalan, itu jadi rezekinya. “Malahan nggak jarang bawa anak USU misalnya dari FISIP ke FKM. Gila betul malasnya,” kelakar Ricky.
Penumpang paling unik, menurutnya, tak lain adalah mamak-mamak. Bukan karena bawel, tapi karena terlalu pas-pasan dalam membayar. Tarif Rp9.200, mereka bisa bayar pas, atau bahkan kurang. Ricky tak jarang diberi Rp8.000 untuk tarif segitu. Menagih lebih pun jadi serba salah. “Paling sering dan malas, tapi menurutku lucu itu kalau bawa mamak-mamak. Ada duitnya 200 perak, disimpannya bah,” kaget Ricky.
Meski begitu, bukan berarti semua pelit. Justru tip paling besar yang pernah ia dapat juga datang dari mamak-mamak. Ada yang membelikan minuman, roti, hingga vitamin. Bentuk perhatian kecil yang membentuk senyumnya di tengah lelah.
Penumpang yang diantarnya pun beragam, dan tak semua berperilaku menyenangkan. Ia pernah mendapat penumpang laki-laki yang bertingkah bukan semestinya. Modusnya berpura-pura takut jatuh, lalu makin mendekat saat di atas motor. Ricky merasa tidak nyaman, lalu mempercepat laju motor saat melewati jalan rusak agar penumpang menjauh. “Geli, merinding pengen muntah juga,” keluhnya.
Awalnya, pekerjaan ini ia rahasiakan dari keluarga. Ia ingin memastikan semua terkendali dulu. Setelah satu bulan, barulah mereka tahu. Respon awal tentu saja khawatir; takut Ricky kecapekan, takut kuliahnya terganggu. Namun, setelah melihat nilai dan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)-nya justru naik, mereka mulai tenang.
Kuliah sambil kerja memang tak mudah. Rasa ngantuk sering datang tiba-tiba, terutama saat kelas pagi. Ia siasati dengan tidur sebentar saat ada waktu kosong. Kadang di kos, kadang duduk di bawah pohon rindang dekat fakultas. “Paling susah itu kalo pagi ada kelas jam 8, terus malamnya habis narik. Besoknya ngantuk kali, udah kek zombie di kelas,” imbuh Ricky kembali.
Sebagai anak rantau dari Samosir, Ricky paham betul soal bertahan hidup. Hari-hari kuliah sambil bekerja sebagai ojol, tentu ditutup dengan lelah, tapi ia juga puas. Tak apa, katanya, ini bukan hanya soal uang, tapi rasa bangga bisa berdiri di atas kaki sendiri.
“Seenggaknya, bisa beli ayam geprek dari jeri payah sendiri,” candanya.