
Oleh: Elizabeth Flora Sihaloho
USU, wacana.org – Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Komisariat Fakultas Hukum (FH) Universitas Sumatera Utara (USU) telah laksanakan diskusi publik terkait pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru. Dengan tajuk “Mencari Format Hingga Menakar Kesiapan Komutasi Pidana Mati dalam Perspektif Hak Asasi Manusia” di Aula Peradilan Semu FH USU, Selasa (18/02/2025).
Perbedaan pandangan mengenai sanksi pidana menjadi hal lumrah yang kerap kali diperbincangkan. Terjadi karena banyaknya sanksi pidana yang menuai pro-kontra baik dari kelompok masyarakat maupun para ahli hukum. Tak terkecuali, hingga saat ini sanksi pidana mati selalu menuai kritik dari berbagai kelompok.
Hak Asasi Manusia (HAM) telah melekat pada setiap diri manusia sebagai suatu hak dasar atau pokok. Hal ini sejalan dengan pendapat Kepala Pusat Kajian HAM (Pusham) Universitas Negeri Medan (Unimed), Majda El Muhtad. Ia menjelaskan bahwa upaya pembaharuan hukum terus dilakukan oleh pemerintah guna menyempurnakan hukum yang berlaku di Indonesia, termasuk pengaturan pidana mati.
Penerapan pidana mati di Indonesia masih terus dipertimbangkan. Mengingat perumusan hukum pidana harus mencerminkan nilai-nilai kultural yang berkembang di masyarakat. “Kita harus bisa menormalisasikan komutasi hukum dan grasi,” paparnya.
Majda berharap komutasi ini dapat memperjelas peran para aktor seperti presiden, majelis, jaksa, dan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kemenimpas). Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) juga memuat, jika pidana mati diancamkan secara alternatif dan dapat dilakukan komutasi dengan ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam RKUHP.
Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum USU, Mahmud Mulyadi, dalam diskusi ini juga menyebutkan bahwa hukuman mati yang coba dikomutasikan menjadi ringan sudah diakui oleh KUHP. “KUHP itu juga menginstruksikan untuk membuat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), inilah yang mau dikritisi,” ujarnya.