Oleh: Reza Anggi Riziqo
Kampus Merdeka jadi solusi palsu pengembangan pendidikan di Indonesia. Terdapat berbagai masalah yang menyelimuti pelaksanaan salah satu produk unggulan Kemendikbud ini.
Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) merupakan program unggulan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang dikomandoi Nadiem Makarim. Merdeka Belajar diimplementasikan pada sekolah-sekolah, sementara Kampus Merdeka untuk perguruan tinggi. Sejak pertama kali digaungkan di tahun 2020, Kampus Merdeka jadi perbincangan hangat dikalangan civitas akademika.
Terkhusus untuk mahasiswa, Kampus Merdeka menawarkan berbagai program menarik, seperti: Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM), Kampus Mengajar (KM), Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA), Magang, Studi Independen, dan Wirausaha Merdeka. Program-program itu terbuka untuk mahasiswa di seluruh Indonesia baik perguruan tinggi negeri maupun swasta.
Laris manis tanjung kimpul, Kampus Merdeka laris mahasiswa berkumpul. Strategi pemberian uang saku atau biasa disebut bantuan biaya hidup (BBH) hingga jutaan rupiah, ditanggungnya Uang Kuliah Tunggal (UKT), juga konversi 20 Satuan Konversi Semester (SKS), berhasil menggenjot minat mahasiswa. Namun, cara ini banyak dikritik karena berakibat pada tergerusnya minat berorganisasi. Dinilai sebagai ancaman laten terhadap aktivisme dan pemikiran kritis di lingkungan organisasi mahasiswa (ormawa).
Tujuan utama Kampus Merdeka, guna “…meningkatkan kompetensi lulusan, baik soft skills maupun hard skills, agar lebih siap dan relevan dengan kebutuhan zaman, menyiapkan lulusan sebagai pemimpin masa depan bangsa yang unggul dan berkepribadian,” mengutip Buku Panduan MBKM (2020). Namun , apa iya?
Disorientasi tujuan nyatanya terjadi. Mahasiswa yang ikut Kampus Merdeka cenderung oportunis. Banyak dari mereka hanya berniat ‘kabur’ dari kesuntukan ruang kelas. Berorientasi pada “uang saku” atau wisata berkedok pertukaran pelajar. Riset yang dilakukan Pratiwi dkk. (2023) terhadap program magang Kampus Merdeka di salah satu kampus menunjukkan hasil pemberian insentif tambahan oleh instansi mitra magang berpengaruh pada kinerja mahasiswa. Disebutkan, mahasiswa yang tidak mendapatkan insentif (tambahan) tidak memberikan kinerja yang terbaik untuk instansi tersebut.
Kampus Merdeka juga berpotensi mematikan kepakaran atas suatu keilmuan. Ditinggalkannya ruang kelas jurusan selama satu semester atau lebih menyebabkan mahasiswa tidak turut hadir belajar sesuai dengan kurikulum jurusan tersebut. Berimplikasi pada terkikisnya kompetensi keilmuan mahasiswa di jurusannya sendiri.
Banyak jurusan yang melarang Kampus Merdeka untuk semester tertentu, disesuaikan dengan mata kuliah wajib jurusan. Bahkan ada yang melarang total mahasiswanya untuk berpartisipasi, utamanya pada jurusan yang menggunakan sistem blok. Tujuannya, agar mahasiswa tidak tercerabut dari keilmuan dan mencegah matinya kepakaran pada jurusan tersebut.
Kurangnya sosialisasi Kampus Merdeka secara mikro hingga tingkat jurusan menyebabkan berbagai kendala bagi mahasiswa. Banyak mahasiswa yang terlanjur mendaftar Kampus Merdeka tanpa sepengetahuan dan konsultasi dengan jurusan, dan pada akhirnya kelimpungan sendiri ketika mengajukan konversi nilai.
Kebebasan bagi mahasiswa untuk memilih jurusan atau mata kuliah di Kampus Merdeka menjadi masalah baru. Simanjuntak (2020) dalam penelitiannya menyebutkan jika Kampus Merdeka menimbulkan kesan social gap antara jurusan favorit dan jurusan second rate. Jurusan second rate seperti seni, sastra, kepustakaan, dan jurusan lain yang dianggap tidak berdampak langsung pada kehidupan masyarakat akan semakin terpuruk akibat Kampus Merdeka, sebab tidak dominan dipilih oleh para peserta Kampus Merdeka.
Bak fatamorgana, Kampus Merdeka seolah jadi trobosan super guna mengentasi permasalahan pendidikan di Indonesia. Namun pada implementasi dan realitasnya, masih diselimuti berbagai kekurangan dan kontradiksi. Kampus Merdeka yang jelas berkiblat pada kebutuhan industri terlalu sibuk menyiapkan mahasiswa untuk berkompetisi dalam dunia kerja kelak.
Kurang lebih tiga tahun berjalannya Kampus Merdeka, belum ada evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanannya. Disorientasi mahasiswa oportunis, yang mengejar keuntungan pribadi, masih menjejali kolom pendaftar Kampus Merdeka. Sosialisasi pun belum masif dilakukan terhadap para pemangku di tingkat jurusan.
Tak dapat ditampik jika kebermanfaatan Kampus Merdeka juga dirasa cukup memuaskan. Banyak riset juga yang menunjukkan peningkatan hard skill dan soft skill para pesertanya. Tetapi itu bukan alasan untuk tutup mata pada persoalan yang ada.
Diharapkan perbaikan terhadap Kampus Merdeka secara holistik dan menyeluruh sesegera mungkin dilakukan.