
Oleh: Redaksi
Kamu barangkali pernah lihat rekan sefakultas, sejurusan, sekelas, atau bahkan kamu yang fotonya diunggah di akun berembel nama kampus diikuti kata ‘cantik’? Kemunculan akun semacam itu tak ketinggalan di lingkungan USU, yaitu akun @usucantikid. Seluruh unggahannya menampilkan foto-foto mahasiswi, lalu di bagian caption dibubuhkan nama lengkap, asal fakultas dan jurusan, serta tahun angkatan.
Apakah ini atas dasar persetujuan si pemilik foto? Belum tentu. Jika memang atas persetujuan, apa yang membuat seseorang mengizinkan foto dan informasi dirinya disebarluaskan di akun tersebut? Pemilik akun tidak jelas siapa, tapi akun tersebut masih aktif mengunggah hingga kini.
Berdasarkan informasi tertera pada akun, @usucantikid sudah ada sejak Juni 2020. Kini, akun tersebut diikuti sebanyak 12,2 ribu pengikut. Yang bukan tidak mungkin, sebagian pengikutnya sesama mahasiswi. Pada tampilan akunnya, bahkan dengan jelas tertulis “Dm/mention temen kamu yang cantik dari USU dengan nama, foto, fakultas, dan angkatan.”
Sayangnya, dalam 245 jumlah postingan yang menampilkan foto mahasiswi tersebut, terpantau tak ada komentar yang terusik dengan keberadaan akun ini. Tombol suka diklik, puja-puji dilayangkan, bahkan ada juga yang ikut menandai meminta pemilik akun (disebut admin) agar ikut mengunggah temannya.
Terlihat tak ada masalah, semuanya merasa ini hanya akun yang menampikan foto mahasiswi cantik. Padahal, akun semacam ini sama saja mengobjektifikasi perempuan. Dalam artian, visual yang dikatakan ‘cantik’ hanya diukur dari masuk atau tidaknya kategori admin dalam menilai. Informasi pribadi disebarkan dengan tujuan yang tidak jelas. Jika ada komentar yang tidak etis? Siapa pun tak bisa memperkirakan.
Fenomena ini turut menjadi polemik di beberapa kampus, salah satunya seperti yang dibahas oleh fisip.usu.ac.id. Dalam artikel tersebut, Pakar teori film, Laura Mulvey, memperkenalkan konsep ‘male gaze’ untuk menggambarkan bagaimana laki-laki menggunakan sudut pandangnya untuk menciptakan wacana tentang perempuan dalam layar.
Wacana ini berupa citra yang dibuat untuk memenuhi kepuasan (pleasure) laki-laki dengan perempuan sebagai objek. Dalam male gaze ini, laki-laki mengikat perempuan sebagai simbol untuk memenuhi fantasi seksual mereka melalui berbagai citra yang menghapus kualitas perempuan, sehingga pandangan tentang perempuan seakan hanyalah tentang tubuhnya.
Berdasarkan komentar yang dilayangkan, masih ada beberapa perempuan yang ikut bangga jika foto mereka atau temannya diunggah di akun tersebut. Padahal, justru hal tersebut sangat merugikan perempuan. Mereka dapat terjebak dalam penilaian fisik, kecantikan dianggap sebagai faktor utama yang menentukan kualitas diri, terutama di lingkungan akademik.
Walaupun hal ini cukup banyak menuai perhatian, hingga saat ini Unit Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (PPK) USU masih belum angkat suara atau ambil tindakan. Sederhananya, seperti yang dilakukan oleh Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (PPKPT).
Melalui akun Instagram mereka, dimuat unggahan soal kemunculan akun ‘kampus cantik’ sebagai wajah objektifikasi perempuan di media sosial. Memang sebenarnya, warga kampus butuh edukasi soal itu.
Pada Peraturan Rektor Nomor 16 Tahun 2025 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan USU, disebutkan pula bahwa keadilan dan kesetaraan gender, merupakan prinsip yang memberikan akses yang sama dan perlakuan yang setara sehingga setiap gender mendapatkan layanan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan.
Jika disinggung keadilan dan kesetaraan gender, akun objektifikasi semacam itu, tidak hanya menyasar pada perempuan. Pasalnya, terdapat pula akun serupa bernama @usugantengid, menampilkan foto mahasiswa lelaki, yang visualisasinya dianggap dapat menarik atensi lawan jenis.
Walaupun memang jumlah pengikutnya masih jauh berbeda, tetapi tetap menunjukkan bahwa tidak hanya perempuan yang bisa menjadi korban objektifikasi, tapi juga laki-laki. Akun semacam ini terus bermunculan dengan nama yang serupa dan tujuan yang sama. Efek yang ditimbulkan tidak dapat ditanggungjawabi oleh siapa pun, karena tidak ada yang tau pemilik akunnya.
Unit PPK USU dapat menyudahi keberadaan akun tersebut dengan membangun kesadaran warga kampus agar lebih bijak lagi dalam bermedia sosial. Jika menemukan foto rekan sefakultas, sejurusan, sekelas, atau bahkan fotomu yang diunggah tanpa persetujuan, jangan bangga. Sudahi objektifikasi ini menggunakan fitur report yang ada di sosial media.
Langkah yang lebih baik, Unit PPK USU menghentikan pembiaran ini dengan mengimbau siapa pun yang keberatan foto dan informasi pribadinya diunggah akun tersebut, bisa melaporkannya segera.
Lingkungan akademik jangan memberi ruang untuk perempuan dipandang hanya sebatas objek visualisasi. Akun tersebut bisa meraup manfaat dengan menjangkau pengikut lewat foto yang diunggahnya. Tapi, yang menanggung kerugiannya, lagi-lagi perempuan.



