
Oleh: Dormaulina Sitanggang
“Lebih baik pakai AI daripada joki.”
Begitulah tanggapan yang paling sering muncul dari 204 responden survei Instagram @bopm_wacana, pertengahan September lalu. Dari jumlah itu, sebanyak 85,7 persen memilih menggunakan Artificial Intelligence (AI) dan 14,3 persen memilih setuju menggunakan joki untuk skripsi.
Mayoritas responden menilai penggunaan AI masih ditoleransi karena mahasiswa tetap terlibat dalam proses penyusunan. Sedangkan, joki dianggap berisiko besar, lantaran mahasiswa tidak memahami isi skripsinya, bahkan terancam gagal sidang. Temuan ini membuka perbincangan tentang jalan pintas mahasiswa dalam menyelesaikan skripsi.
Pada dasarnya, pemanfaatan teknologi AI dalam pendidikan ditujukan untuk efektivitas, namun tak lepas dari antisipasi potensi ketergantungan. Cynthia, lulusan Ilmu Komunikasi USU tahun 2025, mengaku cukup terbantu dengan kehadiran AI. Ia sering memanfaatkannya untuk brainstorming, mencari referensi, dan menyusun kerangka. Namun, menurutnya, mahasiswa tidak bisa sepenuhnya mengandalkan AI.
“AI bisa bantu banyak hal, tapi tetap harus dipahami dulu. Kalau mentah-mentah dipakai, hasilnya terasa robotik. Malah bisa terdeteksi plagiasi,” kata Cynthia.
Begitupula Taira, mahasiswa aktif Administrasi Publik USU stambuk 2022, juga memiliki pandangan serupa. Baginya, AI lebih efisien dibandingkan joki. Ia bisa menggunakan AI untuk membantu format penulisan, mencari literatur, hingga menata alur penelitian. Meski begitu, ia tetap menaruh kekhawatiran.
“Kalau kebablasan, mahasiswa jadi malas berpikir kritis. Padahal skripsi kan harus menunjukkan kemampuan analisis kita,” ujar Taira.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Sejak 2023, kampus-kampus top dunia mulai merumuskan aturan tentang penggunaan AI di lingkup akademik. Harvard, Yale, dan Oxford, misalnya, sudah terapkan kebijakan agar mahasiswa tidak menggunakan ChatGPT secara sembarangan dalam penulisan esai.
Sebagian universitas lain tidak melarang total, melainkan memberikan panduan etis. Dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa AI boleh dipakai dalam proses akademik, tetapi penggunaannya harus transparan dan tidak menggantikan proses belajar mahasiswa.
Di Indonesia, regulasi serupa masih minim. Beberapa perguruan tinggi baru sebatas mengingatkan agar mahasiswa tidak berlebihan menggunakan AI. Belum ada standar nasional yang jelas tentang batasan pemakaiannya.
Dr. Drs. Fikarwin M.Ant., Dosen Antropologi FISIP USU, menyebut AI layaknya pisau bermata dua. “AI itu ibarat pisau yang tajam. Kalau kamu gunakan untuk menjahati orang, pisau itu tidak bagus. Tetapi kalau dipakai untuk merajang bawang, mengiris daging, itu sangat baik. Begitu juga AI, kalau dipakai untuk manipulasi jelas tidak baik,” ujar Fikarwin.
Menurut Fikarwin, teknologi ini membawa kemudahan sekaligus ancaman. Jika mahasiswa sepenuhnya bergantung, kemampuan menulis dan daya kritis justru akan menurun. Senada dengan itu, Drs. Muba Simanihuruk, M.Si., Dosen Sosiologi FISIP USU, menilai AI adalah hal yang tak bisa dihindarkan.
“AI itu tidak terhindarkan. Cuma harus ada disclaimer di akhir, menyatakan bahwa sebagian tulisan karyanya dibantu oleh AI, bukan digantikan oleh AI,” jelas Muba. Bagi Muba, hal ini penting agar mahasiswa tetap dilatih menulis, bukan malah menyerahkan seluruh pekerjaan menulis kepada AI.
Joki, Bisnis Gelap yang Tetap Berkembang

Meski survei menunjukkan mahasiswa lebih memilih AI, bukan berarti bisnis joki hilang begitu saja. MR, seorang penyedia jasa joki skripsi di Medan, akui bahwa masih banyak mahasiswa yang datang untuk memakai jasanya. Alasan mereka beragam: sibuk bekerja, malas menulis, mengalami kesulitan saat bimbingan kepada dosen, hingga tertekan karena tidak kunjung lulus.
Dilansir dari Tirto.id, joki skripsi kini kian marak ditawarkan secara daring, termasuk melalui marketplace. Tarifnya bervariasi, mulai dari Rp1 juta hingga Rp10 juta. Beberapa bahkan menjanjikan garansi lulus. MR menyetujui itu, harga jasanya bergantung pada kompleksitas dan tenggat waktu. “Tarifnya bervariasi, bisa sampai jutaan rupiah. Tergantung tingkat kesulitan skripsi dan berapa cepat mau selesai,” jelasnya
Namun, ia tidak menampik adanya risiko besar. Skripsi hasil joki bisa saja ditolak dosen pembimbing, bahkan mahasiswa bisa gagal sidang. “Kalau ketahuan, ya hancur semua. Tapi banyak juga yang tetap lulus,” tambahnya.
Fenomena joki, sebut Muba kembali, merupakan tanda adanya masalah struktural di dunia pendidikan. Mahasiswa mencari jalan pintas bukan semata karena malas, tapi juga karena sistem pendidikan yang belum memberi ketegasan.
“Itu sebenarnya kejahatan, kejahatan ilmiah. Mental jalan pintas yang dipilih mahasiswa itu salah, karena dia bukan hanya mencari gelar, tapi seharusnya mencari ilmu,” tegas Muba.
Begitupun Fikarwin, ia melihat fenomena perjokian justru semakin parah dari tahun ke tahun. “Lebih parah sekarang ini. Jumlahnya itu lebih banyak, bahkan lebih permisif. Lebih terbuka, lebih diterima kayaknya oleh semua pihak. Maka perjokian muncul di mana-mana, di segala profesi,” singgungnya.
Ia menyebut joki kini dianggap hal biasa, bahkan normal. “Semua orang tahu dan menerima itu sebagai keadaan yang biasa-biasa saja, normal. Seakan-akan dianggap saling tolong-menolong. Orang tidak lagi menghubungkannya dengan soal etika dan integritas,” tambah Fikarwin.
Jalan yang Dipilih Mahasiswa

Baik Cynthia maupun Taira sepakat, AI bisa membantu proses skripsi. Namun, keduanya menekankan bahwa mahasiswa tetap harus menguasai isi tulisannya. Jika tidak, hasil akhirnya sama saja mengkhianati proses belajar selama kuliah.
“AI jangan sampai bikin kita jadi malas. Kalau semua diserahkan ke AI, apa bedanya dengan joki skripsi?” kata Taira.
Bagi Fikarwin, menyikapi masifnya penggunaan AI di kalangan pendidikan memerlukan sistem evaluasi. Ia menekankan bahwa selama ujian dan penilaian tugas hanya berupa tulisan, peluang manipulasi akan selalu ada.
“Makanya koreksi saya terhadap sistem pendidikan kita, ujian kertas sebaiknya diganti. Lebih baik ujiannya lisan, biar mahasiswa betul-betul paham, bukan hanya mengandalkan teknologi,” ujar Fikarwin.
Sementara Muba menyoroti lemahnya perangkat integritas di kampus. “Mestinya setiap dosen dikasih perangkat cek plagiarisme, Turnitin itu. Di S2 diterapkan, mestinya di S1 pun juga,” tukasnya.
Terkait mahasiswa yang mengerjakan skripsi dengan joki, Muba menilai mereka mencapai tujuannya dengan cara yang salah. “Orang-orang itu tidak kompetitif di pasar kerja yang meritokratik. Alam akan menghukumnya sendiri,” tegas Muba.
Merespons fenomena ini, sejumlah perguruan tinggi di Indonesia mulai menyusun aturan internal terkait penggunaan AI. Langkah ini sejalan dengan upaya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang mendorong literasi digital agar mahasiswa memahami batasan etis dalam memanfaatkannya. Meski demikian, hingga saat ini standar nasional masih belum tersedia.
Kekosongan regulasi ini menjadi ancaman bagi akademik dengan maraknya kemudahan teknologi dan bisnis gelap joki skripsi. Oleh karena itu, evaluasi sistem pendidikan, ketegasan sikap institusi, serta penerapan standar operasional prosedur menjadi penting untuk menyelamatkan integritas pendidikan. Karena jika bangku kuliah hanya menjadi tempat berburu selembar ijazah, gelar akademik pun terancam akan kehilangan marwahnya.



