
Oleh: Dinar Fazira Fitri
USU, wacana.org – Ikatan Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial (IMIKS) Universitas Sumatera Utara (USU) dan komunitas Sadar Pencegahan Kanker Dari Awal (SAPKANDARA) Medan menggelar talkshow dan Focus Group Discussion (FGD) bertema “Reframing Health in Multidimensional Perspective”. Selain akademisi dan mahasiswa, para penyintas kanker hadir dan membagikan kisah tentang penyakit dan proses pengobatannya di Aula FISIP USU, Kamis (20/11/2025).
Lince Manalu, seorang pejuang kanker payudara dan tiroid, berharap pemerintah meningkatkan pemahaman pada masyarakat mengenai penyakit kanker. “Saya sudah hampir mendekati tujuh tahun setelah operasi pengangkatan payudara. Penjelasan dari dokter bisa kita terima, kalau kita berkomunikasi dengan baik dan siap menerimanya,” tuturnya.
Menurutnya, edukasi ke masyarakat mengenai kanker juga bertujuan agar tidak terbentuk stigma buruk. “Kalau dibilang perlu kemoterapi, orang sudah takut duluan, akhirnya lari ke dukun dan herbal. Setelah herbal akan membengkak, akhirnya operasi medis juga yang akan dijalani,” ucap Lince.
Ia menambahkan, masyarakat memerlukan motivasi dan dorongan agar tidak takut pada penyakit sendiri. “Di RS Murni Teguh, kami punya komunitasnya untuk saling menguatkan. Kita ingin siapa pun siap merima penyakitnya. Yang terpenting, bersahabatlah dengan penyakitmu,” tutupnya.
Direktur Diklat, Penelitian dan Kerja Sama RS USU, Ivana Alona, menyetujui bahwa sehat bukan hanya kondisi biologis, tapi juga dinilai dari pikiran, jiwa, dan keyakinan. “Dibungkus lagi dengan keluarga dan lingkungannya. Ini membentuk psiko-sosial, behavior-nya, dan bagaimana dia bekerja, tumbuh, dan menahan berbagai paparan penyakit,” jelasnya.
Ia juga berpendapat bahwa literasi kesehatan penting untuk diterapkan. Tubuh punya kecenderungan untuk memunculkan gangguan imunitas. “Literasi kesehatan harus ada, seseorang nggak boleh cuek dengan kesehatan. Kedokteran juga harus berkesinambung dengan ilmu-ilmu lain yang mendorong untuk sadar,” pesan Alona.
Sementara itu, seorang Teolog dan Sosiolog, Riany Sitanggang, merasa harus ada pekerja sosial untuk para pasien. “Ada survivor, pemerhati, dan social worker, yang bekerjanya untuk mendengar persoalan yang dikhawatirkan dan dibutuhkan oleh penyintas. Saya pikir, rumah sakit tidak hanya tentang medicine, tapi konselor dan konseling juga perlu diprioritaskan,” ujarnya.



