
Oleh: Ruth Cinthia Sianturi
Medan, wacana.org – Staf Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatra Utara (Sumut), Maulana Gultom, menyoroti kegagalan negara dalam menyelesaikan konflik agraria yang terus meningkat di wilayah Sumut. Hal ini dinyatakannya dalam Konferensi Pers “Sumut Darurat Agraria: Negara Jangan Menjadi Alat Korporasi Merampas Tanah Rakyat”, yang digelar oleh Aliansi Pejuang Reforma Agraria (APARA) di Kantor WALHI Sumut.
Maulana, pada Senin (30/6/2025), menyebut bahwa konflik agraria sebagai persoalan kultural yang hingga kini belum diselesaikan negara. “Ini luka lama yang belum sembuh dari pemerintahan kita, khususnya di Sumut. Konflik ini mencerminkan ketimpangan sosial dalam penguasaan dan penggunaan tanah,” ungkapnya.
Disampaikan dalam konferensi pers, data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sumut, mencatat sejumlah konflik yang mencerminkan kegagalan sistemik negara dalam menjalankan reforma agraria secara adil. Beberapa konflik seperti yang terjadi di daerah Padang Lawas, Kelompok Tani Torang Jaya Mandiri (KTTJM) menghadapi penggusuran lahan oleh PT SSL (HTI) dengan alat berat.
Selain itu, terdapat konflik antara warga dengan PT. Nirvana Memorial Nusantara. Bermula dari adanya praktik mafia tanah yang menjual tanah milik masyarakat kepada perusahaan tersebut. Kemudian, terdapat juga perseteruan panjang Serikat Petani Sejahtera indonesia (SEPASI) Desa Gurilla, Kota Permatang Siantar, dengan PTPN IV Region Kebon Bangun akibat klaim tumpang tindih lahan yang merampas hak pengelolaan warga.
“Alih-alih hadir sebagai pelindung rakyat, negara justru tampil sebagai alat kekuasaan pemilik modal,” ungkap Maulana.
Perwakilan dari Aliansi Pejuang Reforma Agraria (APARA), Agus Sinaga, juga menyoroti konflik agraria yang terjadi di wilayah Sumatra Timur. Khususnya yang melibatkan masyarakat adat Melayu di Kampung Kuala Begumit, Langkat. Ia menyebut bahwa pengusiran masyarakat dari tanah adatnya sama saja dengan mencabut identitas mereka sebagai orang Melayu.
“Ketika masyarakat Melayu di Kuala Begumit diminta mengosongkan tanah mereka, itu sama saja mencabut identitas mereka. Tanah bagi masyarakat adat tak bisa dilepaskan dari jati diri mereka,” ujar Agus.
Bersamaan dengan itu, mereka melayangkan sejumlah tuntutan untuk mendesak pemerintah dan institusi terkait mengesahkan regulasi yang berpihak pada masyarakat adat. “Kami menuntut pemerintah segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat dan Perda Masyarakat Adat Sumatera Utara,” tegas Agus.