
Oleh: Ruth Cinthia Sianturi
Medan, wacana.org – Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) Sumatera Utara (Sumut), Suwardi, menyoroti lemahnya mekanisme pengawasan dan penghukuman terhadap pelaku penyiksaan. Hal ini dinyatakannya dalam dialog publik “27 Tahun Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan: Potret Penyiksaan di Indonesia”, yang digelar oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumut di SeRuang Kitchen & Beverage.
Suwardi pada Kamis (26/6/2025), menerangkan bahwa penyiksaan adalah tindakan sistematis yang dilakukan dengan sengaja, bermotif tertentu, dan melibatkan tekanan negara. “Kalau unsur-unsur itu terpenuhi, maka jelas peristiwa tersebut masuk dalam kategori penyiksaan,” ujarnya.
Menurutnya, meskipun Indonesia telah meratifikasi konvensi, praktik kekerasan oleh institusi negara seperti kepolisian tetap marak karena tidak adanya sistem kontrol yang memadai. “Sampai sekarang mekanisme monitoring maupun hukuman bagi pelaku penyiksaan tidak berjalan. Akibatnya, kekerasan terus dibiarkan,” ucap Suwardi.
Senada dengan itu, Muhammad Alinafiah Matondang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan menyatakan bahwa proses hukum terhadap kasus penyiksaan di Sumut masih tidak mencukupi. “Kita lihat pengawasan sangat lemah, pelaku tidak pernah diproses secara pidana, atau kalaupun ada, prosesnya sangat lambat,” ujarnya.
Ia juga menyinggung kekerasan terhadap jurnalis yang pelakunya berasal dari aparat negara. “Wartawan di Karo pernah jadi korban, dan pelakunya hingga kini tak tersentuh. Ini menunjukkan bahwa kekerasan bukan lagi perilaku oknum, melainkan sudah sampai pada level struktural,” tegas Alinafiah.
Dari sudut pandang gender, Lusty Ro Manna Malau dari Power Hub Girl memaparkan bahwa penyiksaan berdampak besar pada perempuan dan kelompok rentan lainnya. Ia menyebutkan pemerkosaan oleh oknum polisi terhadap tahanan perempuan di Pacitan, Jawa Timur. Kasus ini dirilis oleh Komnas Perempuan sebagai bentuk penyiksaan berbasis seksual. “Kasus seperti ini menunjukkan bahwa nyawa perempuan sering kali hanya dianggap sebagai angka oleh negara,” imbuhnya.
Lusty juga menjelaskan dampak penyiksaan yang jarang dibahas, yaitu pada keluarga korban. Ketika seorang ayah atau suami seseorang mengalami penyiksaan atau kekerasan, keluarga korban juga mengalami tekanan. Ia berujar apabila aparat negara terbukti melakukan penyiksaan, maka seharusnya negara melakukan ganti rugi dan rehabilitasi.
“Bukan malah melakukan intimidasi berkali-kali, karena biasanya keluarga korban akan didatangi secara sengaja dan ditawari uang agar kasusnya selesai,” pungkas Lusty.