
Oleh: Mila Audia Putri
“Pembahasan soal lingkungan sering hanya di permukaan—sekadar tahu bahwa buang atau bakar sampah itu salah, tanpa memahami alasan di baliknya.”
Kesadaran untuk menjaga lingkungan belum menjadi prioritas sebagian masyarakat, termasuk generasi muda. Di tengah kondisi tersebut, hadir sosok Yuli Efriani–akrab disapa Yu–pegiat lingkungan asal Sibolga yang juga merupakan alumni Teknik Lingkungan Universitas Sumatera Utara (USU) stambuk 2015.
Berbekal pengalaman pribadi dan tekad yang kuat, Yuli mendirikan Seabolga, komunitas yang berfokus pada pengelolaan sampah di laut dan pesisir. Berdiri sejak 2019, Seabolga lahir dari keresahan terhadap kondisi sampah di wilayah pesisir Sibolga. Sejak saat itu, komunitas ini aktif mengajak anak muda dari berbagai wilayah di Sumatra Utara untuk ikut peduli pada lingkungan.
Apa momen atau pengalaman yang paling mendorong dalam membentuk komunitas Seabolga?
Pengalaman pribadi yang menjadi pendorong utama. Saya dan teman-teman sering bermain ke pantai di Sibolga. Ada salah satu spot yang dulunya bersih, tetapi lama-lama jadi kotor dan tidak layak dijadikan tempat bermain. Dari situ saya sadar ada yang salah, terutama kebiasaan membuang sampah langsung ke laut. Hal itu sebenarnya menjadi awal mulanya keinginan untuk risau terhadap isu-isu lingkungan.
Ketika masuk Teknik Lingkungan, saya belajar lebih dalam soal isu lingkungan dan cara berkomunitas. Akhirnya di tahun 2019, setelah mendapatkan training dari Yayasan Divers Clean Action di Jakarta, saya merasa mantap untuk membuat komunitas agar lebih didengar.
Masalah lingkungan seperti apa yang pertama kali disadari di Sibolga atau daerah lainnya?
Masalah sampah jadi awal kepedulian saya terhadap isu lingkungan. Selain itu, ada juga sungai yang dulu jadi tempat mandi dan mencuci, tetapi lama-lama menjadi dangkal akibat pembangunan. Awalnya saya kira murni bencana alam, tetapi kemudian sadar kalau ternyata disebabkan oleh manusia. Nah, di Sumatra Utara, setelah berkecimpung di isu-isu lingkungan, saya melihat bahwa persoalan sampah masih menjadi masalah utama yang hampir merata di seluruh daerah. Tantangannya bukan cuma pengelolaan, tapi juga kesadaran masyarakat yang masih rendah.
Bagaimana melihat sikap anak muda terhadap isu lingkungan di Sibolga atau Sumatra Utara secara umum?
Pasca pandemi, kampanye lingkungan mulai marak, terutama di kalangan anak muda, mahasiswa, dan pelajar. Sayangnya, pembahasan soal lingkungan sering hanya di permukaan—sekadar tahu bahwa buang atau bakar sampah itu salah, tanpa memahami alasan di baliknya. Kurangnya sosialisasi dan penyampaian informasi yang mendalam jadi salah satu penyebab. Mungkin isunya kurang menarik atau tidak relate sama mereka, padahal sebenarnya sangat deket dengan kehidupan kita. Contohnya, satu piring makanan yang tidak dihabiskan pun bisa berdampak pada lingkungan lewat emisi gas rumah kaca.
Menurut saya, sebenarnya banyak anak muda yang peduli lingkungan, tapi yang benar-benar memahami dampak dari setiap tindakan sehari-hari terhadap lingkungan masih sedikit. Minat anak muda sekarang cenderung lebih besar ke hal-hal yang dianggap menarik, seperti fashion atau skincare. Inilah tantangan besar bagi para aktivis lingkungan—bagaimana membuat isu lingkungan terasa relate dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Lalu, bagaimana Seabolga mengajak anak muda bukan hanya peduli, tapi juga aktif dalam aksi lingkungan?
Kita punya program-program pemberdayaan untuk anak muda, baik yang berasal dari desa maupun kota. Kami mengajak mereka untuk lebih mengkritisi, memikirkan kembali dan peduli terhadap isu-isu lingkungan yang ada di sekitar mereka. Pilihan kecil seperti tidak membawa botol minum sendiri dapat berdampak besar, sebab tanpa sadar kita turut menyumbang banyak sampah plastik ke lingkungan. Lewat diskusi, training, dan obrolan-obrolan santai, kami ingin anak muda lebih peduli terhadap isu lingkungan—bukan sekadar tahu istilahnya, tapi benar-benar paham dampaknya dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Tantangan terbesar dalam membentuk komunitas lingkungan seperti Seabolga?
Tantangan terbesar yang dihadapi adalah mengubah pola pikir masyarakat. Khususnya di Sumatra Utara. Menurut pengalaman saya, cukup sulit mengedukasi masyarakat soal isu lingkungan. Banyak yang memang kurang tahu, ada juga cenderung tidak mau tahu. Karena itu, kami memilih pendekatan yang lebih langsung dan sesuai dengan kondisi nyata di lapangan, agar pesan lebih mudah diterima.
Strategi atau pendekatan seperti apa yang paling efektif di masyarakat pesisir?
Jangan pakai bahasa akademik atau istilah teknis. Misalnya, jika kita berbicara dengan nelayan, kita bisa mulai dengan pertanyaan sederhana, seperti “Sekarang lebih banyak dapat ikan atau sampah?” atau kira-kira “Kenapa dapat sampah?”. Meskipun mungkin mereka belum memahami korelasinya, tugas kita di sini adalah menjadi jembatan agar mereka bisa lihat dampak dari aktivitas sehari-hari terhadap lingkungan.
Pendekatannya tetap sama: cari tahu apa yang mereka minati. Misalnya, kalau anak muda suka gadget, fashion, atau skincare, kita bisa masuk lewat topik itu. Seperti mengangkat isu tentang kandungan dalam skincare—misalnya scrub yang tidak larut dalam air dan bisa mencemari lingkungan. Dengan begitu, kita membangun kesadaran dari hal-hal yang memang dekat dan mereka sukai.
Apa pesan penting yang hendak disampaikan untuk generasi muda soal lingkungan?
Pesan utama yang saya sampaikan adalah “act local, think global”. Maksudnya, tidak masalah jika kita terjun langsung ke masyarakat lokal, ngobrol dengan orang-orang di daerah, dan membaur dalam kehidupan mereka. Tapi kita juga harus “think global”, dengan meningkatkan kapasitas diri, baik itu dalam skala nasional maupun internasional, agar dapat diterapkan di masyarakat. Jadi, lingkungan tempat kita tinggal ini tumbuh dan menua seiring dengan bertambahnya usia kita. Kita harus memberikan feedback yang baik untuk lingkungan, karena sudah memberi banyak hal yang baik juga sama kita.
Apa harapan jangka panjang terhadap Seabolga?
Harapan jangka panjang untuk Seabolga adalah agar dapat menjadi pusat edukasi pesisir, yang berfungsi sebagai ruang belajar bagi anak muda—bukan hanya belajar tentang isu pesisir, tetapi juga tentang lingkungan, dan berbagai hal penting lainnya. Kami ingin Seabolga menjadi wadah untuk mendorong anak muda lebih peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan maupun krisis yang sedang terjadi.