BOPM Wacana

Budidaya Maggot: Solusi Alternatif Pengelolaan Sampah Organik

Dark Mode | Moda Gelap

 

Maggot sebagai pakan ternak bebek Ratna, Rabu (27/11/2024). | Mila Audia Putri

Oleh: Mila Audia Putri

“Ternak maggot ini semuanya sangat menguntungkan, maggot ini semuanya bernilai uang dengan konsisten kerja dan ketekunan kita.”

Dengan penuh keyakinan, kalimat tersebut dilontarkan Ratna Sri Dewi, salah satu peternak maggot yang berhasil merintis dan mengelola usahanya selama enam tahun, terhitung sejak tahun 2019 hingga kini. Usahanya terletak di Jln. Bunga Teratai No. 9, Padang Bulan, Medan Selayang.

Maggot lahir dari telur lalat tentara hitam atau Black Soldier Fly (BSF). Sudah dikenal secara luas dalam beberapa tahun terakhir berkat kemampuannya dalam menyerap sampah organik dalam waktu singkat.

Sakman dkk. (2020), mengatakan bahwa maggot (BSF) dapat mengkonversi sampah serta mengurangi masa sampah 52-56 persen. Maggot dapat dijadikan solusi untuk mengurangi sampah organik.

Sampah-sampah tersebut biasanya berasal dari sampah dapur sisa makanan, seperti sisa nasi, sayuran, roti, susu, dan sampah makanan lainnya yang terbuang. Menjadi santapan maggot agar dapat berkembang dan bertahan hidup. Maggot juga memiliki nilai ekonomi.

Mesin Pemakan Sampah Organik

Kumpulan maggot sedang memakan makananya, Rabu (27/11/2024). | Elizabeth Flora Sihaloho
Kumpulan maggot sedang memakan makanannya, Rabu (27/11/2024). | Elizabeth Flora Sihaloho

Tidak dapat dipungkiri, hingga kini permasalahan sampah menjadi salah satu tantangan besar yang harus ditangani dengan serius di Indonesia. Terutama di Kota Medan.

Merujuk pada data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2023, komposisi sampah yang ada di Indonesia, masih didominasi oleh sampah sisa makanan, yang mencapai angka 39,6%.

Sebuah kenyataan yang mencerminkan betapa besar jejak konsumsi manusia terhadap bumi, di mana makanan yang terbuang menjadi bagian terbesar dari tumpukan sampah.

Begitu Pula di Kota Medan, sebagaimana tercatat oleh Dinas Lingkungan Hidup pada tahun 2023, Kota Medan menghasilkan sampah lebih kurang 1.700 ton sampah setiap harinya. Sebagian besar dari itu sampah organik.

Direktur Bank Sampah Induk Permata Hati Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Medan, M. Indra Utama Pohan, menyampaikan bahwa setiap harinya sekitar 700 ton sampah organik di Kota Medan berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Angka yang besar dan tidak terhitung. Terhampar seperti bukit-bukit sampah yang menunggu untuk dikelola dengan bijaksana. Hal ini menjadi sebuah tantangan besar, tetapi juga sebuah panggilan untuk solusi yang lebih berkelanjutan.

DLH terus berupaya mengurangi sampah organik, seperti ranting pohon, dengan mengolahnya menjadi Bahan Bakar Jumputan Padat (BBJP) yang digunakan sebagai bahan co-firing di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Brandan, Pangkalan Susu, Langkat. Sementara itu, sampah sisa makanan sering dimanfaatkan oleh pemulung di TPA untuk dijual sebagai pakan ternak.

Sebagai bagian dari kebijakan Wali Kota Medan, setiap kelurahan diwajibkan untuk mendirikan bank sampah. Edukasi mengenai pengelolaan sampah juga terus digalakkan, mulai dari siswa SD, SMP, SMA, hingga mahasiswa, melalui kegiatan kunjungan lapangan ke DLH.

Menurut UU RI No.18 Tahun 2008 tentang pengolahan sampah, menyebutkan dengan jelas bahwa setiap orang dalam pengelolaan sampa rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan.

Sebuah amanat bagi kita untuk mengubah sampah yang kita punya, menjadi sebuah hal yang bermanfaat, bukan menjadi beban untuk bumi. “Selain itu, kami juga mendorong masyarakat untuk mengurangi sampah organik melalui budidaya maggot,” ujar Indra.

Maggot hadir sebagai makhluk kecil yang memiliki keistimewaan dalam memakan sampah organik. Dilansir Katadata.co.idmaggot dapat mengurangi sampah organik sebanyak satu hingga tiga kali bobot tubuhnya selama 24 jam. Bahkan, satu kilogram maggot dapat menghabiskan dua sampai lima kilogram sampah organik per-hari.

Maggot sangat efektif dalam menyerap sampah organik dan dengan cepat menghasilkan uang hanya dalam sepuluh hari,” tutur Indra dengan raut wajah serius.

Ratna, yang saat itu tengah duduk di depan ruangan pengolahan maggot, juga mengatakan hal yang serupa. Tegas ia bilang jika maggot mampu menyerap sampah organik dengan sangat efektif.

Ratna Sri Dewi, seorang peternak maggot di Medan, Sumatra Utara, Rabu (27/11/2024). | Mila Audia Putri

“Sangat luar biasa, karena dengan 10 gramnya telur bisa menghabiskan sampah organik itu mau mencerca 100 kilogram sampah organik,” ujar wanita berhijab biru itu, pada Rabu (27/11/2024).

Di tengah hiruk-pikuk kota yang terus berkembang, maggot telah menjadi solusi alternatif yang tepat untuk mengurangi volume sampah dan dampak buruk yang ditimbulkan oleh sampah.

Meringankan beban sampah di TPA yang kian sesak dengan tumpukan sampah yang tidak terkelola dengan baik.

Si Multiguna

Maggot ini tidak ada yang dibuang, di masuk pertanian bisa, peternakan bisa, perikanan juga bisa, masuk ke dinas kebersihan juga bisa, dan untuk kesehatan juga bisa,” ungkap Ratna.

Apa yang diungkapkan oleh Ratna memang benar adanya. Selain sebagai solusi untuk pengurangan sampah organik, maggot memiliki banyak manfaat, salah satunya sebagai proses pengomposan dalam sektor pertanian.

Maggot dengan cepat mengurai bahan organik menjadi humus yang kaya nutrisi. Mempercepat siklus kompos, dan meningkatkan kualitas tanah menjadi lebih subur.

Tidak hanya itu, dalam sektor pertanian, maggot turut digunakan sebagai pemulihan tanah secara efesiensi dengan bantuan aktivitas alami mereka. Kemudian, maggot juga digunakan sebagai pengendalian hama yang dapat merugikan tanaman, serta menjaga keseimbangan ekosistem pertanian.

Maggot juga telah terbukti sebagai sumber protein yang melimpah. Kerap digunakan sebagai pakan ternak, baik unggas, ikan, maupun reptil.

“Makanya saya bilang, produk maggot dari A sampai Z-nya ada manfaatnya,” ujar Ratna dengan tegas. Keyakinannya kuat mengajak banyak orang memanfaatkan maggot.

Pernyataan tersebut disetujui oleh Arif Fadhilah Rahman, salah satu peternak ikan dan ayam. Dia memanfaatkan maggot untuk pekan ternaknya.

“Untuk menekan biaya produksi, memperlebar margin keuntungan,” tuturnya.

Peluang Usaha yang Menguntungkan

Siang itu, Rabu (27/11/2024), dengan semangat Ratna menceritakan bagaimana awalnya ia tertarik pada budidaya maggot dan perjalanan panjangnya dalam berternak hingga mencapai titik ini.

Awalnya, Ratna adalah seorang peternak bebek yang mengalami kendala dalam penyediaan pakan. Ia kehabisan modal untuk memenuhi kebutuhan makan bebek-bebeknya yang jumlahnya mencapai ribuan.

Namun, Ratna tidak menyerah begitu saja. Dirinya terus mencari solusi alternatif yang lebih terjangkau dengan menggali informasi melalui pencarian di Google dan YouTube.

“Saya searching-searching ternyata terdapat pelatihan budidaya maggot, di situ lah saya mulai mengenal budidaya maggot dari ikut pelatihan umum dan pribadi,” tuturnya.

Ratna mengaku, pada awalnya ia membeli maggot dari pelatihan yang diikutinya. Lalu, perlahan belajar dan mengembangkan cara pembiakannya sendiri.

Tempat penetasan telur dan pembesaran maggot, Rabu (27/11/2024). | Mila Audia Putri
Tempat penetasan telur dan pembesaran maggot, Rabu (27/11/2024). | Mila Audia Putri

Ratna bersama suaminya tertarik untuk memulai usaha budidaya maggot. Keputusan ini membuka lembaran baru bagi Ratna.

Selama enam tahun, budidaya maggot telah menjadi sumber penghasilan utama bagi keluarga Ratna. Dari awal hingga kini, ia menggunakan Facebook pribadinya sebagai wadah untuk menjual telur BSF, kandang BSF, maggot segar, dan prepupa.

“Kalau dihitungan penghasilan, ya besar nilainya, malah saya pernah mendapat hasil satu minggu sekitar lima jutaan, tetapi terkadang tidak ada juga” ungkapnya.

Ratna memiliki konsep bahwa ia harus memiliki ternak bebek dan maggot. Pendapatan harian diperoleh dari telur bebek, sedangkan maggot menjadi sumber penghasilan utama, yang juga dianggap sebagai bonus tambahan dan pakan untuk bebeknya.

Konsumen yang datang kepada Ratna umumnya berasal dari para peternak ikan, unggas, dan termasuk pula orang yang baru memulai belajar dalam budidaya maggot.

Konsumen yang tetap dan tidak, semuanya memiliki peran dalam menggerakkan roda usaha ini. Bagi Ratna yang terpenting adalah setiap pesanan yang masuk, tidak peduli besar dan kecilnya.

“Seperti hari ini, yang membeli maggot sebanyak 35 kilogram, dan semalam yang membeli telur maggotnya sebanyak 30 gram,” katanya.

Untuk pertumbuhan maggotnya, Ratna mengambil dan menerima sampah organik dari 2 warung makanan serta beberapa rumah tangga di sekitar kediamannya. Dengan sukarela mereka memberikan sampah tersebut, mencapai sekitar 150-250 kilogram per-hari.

“Sampah yang diambil akan di pilah-pilah terlebih dahulu, karena sampah organik dari mereka dicampurkan semuanya,” ungkap Ratna.

Tantangan yang Dihadapi

Spanduk pendampingan industri kreatif bersama Rumah Larva Indonesia di Jln. Bunga Teratai No. 9, Padang Bulan, Medan Selayang, Rabu (27/11/2024). Mila Audia Putri
Spanduk pendampingan industri kreatif bersama Rumah Larva Indonesia di Jln. Bunga Teratai No. 9, Padang Bulan, Medan Selayang, Rabu (27/11/2024). | Mila Audia Putri

Seperti usaha ternak lainnya, ternak maggot juga tidak terlepas dari berbagai kendala. Tantangan utama yang dihadapi Ratna adalah proses adaptasi dengan lingkungan sekitar.

“Karena lingkungan itu tidak semuanya mengerti maggot itu bermanfaat atau tidak,” imbuhnya.

Selain itu, Ratna juga menghadapi tantangan dalam menentukan pasar, sebuah ujian yang kerap menghantui pelaku usaha. Namun, berkat pengalaman panjang yang telah ia tekuni selama bertahun-tahun. Tantangan ini bisa dihadapinya.

“Ibu berternak maggot bisa menyekolahkan anak. Kalau tidak ada hasilnya ngapain Ibu teruskan sampai sekarang,” ungkapnya.

Keberhasilan Ratna menginspirasi banyak orang, termasuk mahasiswa dari berbagai universitas yang kini menitipkan maggot untuk dikelola olehnya. “Ada dari USU, UNIMED, dan sekarang dari mahasiswa Dharmawangsa. Mereka belajar, bahkan menitipkan maggot-nya di sini,” ujarnya dengan bangga.

Kini, usaha ternak maggot menjadi bukti bagaimana solusi alternatif lokal mampu mengatasi permasalahan lingkungan sekaligus meningkatkan taraf hidup masyarakat. Maggot dapat mendongkrak perekonomian masyarakat dengan membuka peluang usaha yang menjanjikan.

*****

Tulisan ini bagian dari program Fellowship Jurnalisme Lingkungan yang digelar oleh Sahabat Lestari Indonesia (SaLI).

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4

AYO DUKUNG BOPM WACANA!

 

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan media yang dikelola secara mandiri oleh mahasiswa USU.
Mari dukung independensi Pers Mahasiswa dengan berdonasi melalui cara pindai/tekan kode QR di atas!

*Mulai dengan minimal Rp10 ribu, Kamu telah berkontribusi pada gerakan kemandirian Pers Mahasiswa.

*Sekilas tentang BOPM Wacana dapat Kamu lihat pada laman "Tentang Kami" di situs ini.

*Seluruh donasi akan dimanfaatkan guna menunjang kerja-kerja jurnalisme publik BOPM Wacana.

#PersMahasiswaBukanHumasKampus