Oleh : Rimma Itasari Nababan
“Kelak kita semua akan binasa. Hanya jika kita memilih jalan kebinasaan itu sendiri dan tak ingin melepaskannya.”
“Oh kau wartawan bodoh, aku memang sudah lama ingin bertemu denganmu. Masuklah tapi ketahuilah aku tidak punya banyak waktu untukmu,” dia menyambutku hari itu dengan senyum sinis khasnya. Jujur aku benci harus masuk ke tempat yang dia sebut istana kebahagiaannya.
“Kau akan terkejut melihat banyak perubahan di sini. Aku berharap kau menikmatinya, jika tak mau selalu disebut manusia bodoh,” ucapnya lagi diakhiri dengan tawa penuh ejekan. Saat aku melangkah masuk, berbagai macam bau-bauan terhirup olehku. Bau alkohol, rokok, kemenyan, muntahan, dan bau-bau lain memenuhi atmosfer yang membuatku sesak dan pengap untuk bernafas. “Oh ayolah, dasar lemah!” dia menarik tanganku dan refleks kutepiskan.
“Selamat datang di istana kebahagiaan! Inilah surga yang sesungguhnya. Tidak ada neraka kecuali kau ciptakan nerakamu sendiri!” Ujarnya. Sepertinya itulah kata-kata pribadi yang sangat disukai sehingga dia melukiskan kata-kata itu pada tiap dinding dengan background warna emas dan hitam. Apa yang telah engkau dapatkan di bumi, manusia? Hanya kesengsaraan, bodoh? Lagi-lagi dia yang bicara. Aku berusaha untuk membiarkan diriku tak bicara dulu sebagai strategi untuk menghadapi si licik itu.
Musik rock yang diputar makin keras seakan bersaing dengan suara “manusia-manusia”. Ada yang berteriak, saling bercumbu, saling memaki, mendesah dan suara-suara aneh lainnya. Si licik menuntunku ke sebuah ruangan yang sangat sangat luas dipenuhi oleh lautan manusia yang seharusnya tak layak disebut manusia. “Aku telah memenangkan mereka!” serunya lalu tertawa keras. Semua manusia yang ada di ruangan itu sontak sujud menyembah dia dengan sangat takzim. “Kau juga seharusnya ikut menyembahku,” dia bicara dengan bangganya. “Tidak akan pernah!” jawabku dalam hati.
Si licik kembali berjalan dan manusia manusia itu kembali melanjutkan kegiatannya, ada yang main judi, minum minuman keras hingga mabuk-mabukan dan berjoget ria diiringi musik pemekak telinga dan penggoyah iman. Di sudut lain ada juga beribu-ribu pasang manusia, ada yang saling bertengkar hingga adu fisik, ada yang saling melukai orang lain dan diri sendiri, ada yang berusaha saling membunuh, tetapi mereka terus tertawa.
“Kau tidak ingin mencoba atau memiliki mobil-mobil mahal itu?” ujarnya membuyarkan lamunanku sembari menunjukkan barisan mobil-mobil mewah. Salah satunya adalah mobil impianku. “Kau bisa memilikinya hanya dengan syarat bergabung denganku. Aku tahu gajimu di dunia tak akan cukup untuk membeli itu,” tawarnya. Aku hanya menggeleng tanda tidak.
“Atau kau mau rumah mewah itu Bukankah rumahmu yang sekarang sangat jelek? Istri dan anakmu juga pasti sangat menginginkan rumah itu.” kata-katanya memang benar tetapi aku tak boleh menerimanya. “Tidak!” jawabku tegas menolaknya. “Oh sayang sekali kasihan istri dan anakmu. Impian mereka tak bisa kau wujudkan.” Hampir aku menangis, ada sedikit penyesalan menolaknya.
Lalu dia menunjuk gudang-gudang uang. “Kau sangat butuh uang itu untuk membayar hutang dan biaya kehidupan keluargamu, pendidikan anakmu juga biaya salon istrimu. Bergabunglah dan ambillah!” dia menyerahkan sebuah tas besar padaku dan mendorongku untuk mengambilnya. Darahku berdesir cepat. Uang itu sangat menggoda. Bukankah itu yang kucari setiap hari dan selama aku bekerja belum pernah mendapat 0,000000000000001 persen pun dari jumlah uang yang di depanku. Aku menggerakkan tangan untuk mengambilnya tetapi sesuatu hal sepertinya menyadarkanku hingga tak jadi mengambilnya.
“Kau masih manusia yang bodoh rupanya! Lalu apa yang kau ingin dan harapkan dari hidupmu? Dasar manusia bodoh! Apa yang kau dapatkan saat menjadi orang yang taat pada Tuhanmu, bodoh!” teriaknya kencang. Tubuhku rasanya sesak. “Oke baiklah. Bagaimana dengan ini dan ini?”. Si licik menyerahkan sebuah pisau dan sepucuk pistol. Lalu tiba-tiba dihadapanku muncul seorang pria paruh baya. “Ini kan pria yang telah membunuh gadis kecilmu?” ucapnya membuatku terhenyak seolah baru tersadar ada sakit, benci, dendam yang tiba-tiba muncul mengingat putri satu-satuku dibunuh satu bulan silam. Aku mengacungkan kan pisau dan pistol ke arah pria itu.
“Tidak! Jangan! Kumohon ampuni aku! Maafkan aku! Aku menyesal melakukannya kumohon jangan. Maafkan aku demi anak dan istriku. Maafkan aku!” pria itu memohon ampun, namun aku tetap mau menarik pelatuknya. Tunggu dulu apakah jika aku membunuhnya putriku bisa hidup kembali? Tidak, Lalu kenapa aku harus membunuhnya? Hanya karena sakit hati dan dendam? Lalu bagaimana dengan ucapan maaf dan keluarganya? Bagaimana dengan Tuhan yang maha pengampun dan maha pengasih? Baiklah, aku memaafkan pria itu. Kujatuhkan pisau itu, lalu pria tersebut tiba-tiba menghilang.
Ada suatu kelegaan yang kurasakan. Si licik yang tadi entah kemana muncul kembali, wajahnya masih terus menunjukkan mimik godaan. “Baiklah manusia bodoh, kamu memang wartawan bodoh, semua kebahagiaan yang ku tawarkan kau tolak. Tapi bagaimana dengan yang ini?” dia menarik seorang wanita tanpa busana ke depanku. “Semenjak istrimu meninggalkanmu karena kemiskinanmu beberapa bulan lalu, kau tak pernah lagi menikmatinya bukan? Nikmatilah!”.
Wanita tadi mendekati dan menarik bajuku hendak membukanya. Kutepiskan tangannya dan menjauhinya. Wanita itu tampaknya marah dengan penolakan ku begitupun si licik.
“Ck ck ck kebahagiaan itu pun kau tolak. Baiklah biar aku yang menikmatinya, Miku, Kemari!” Teriaknya terlihatnya seorang wanita lain tanpa busana datang menghampiri si licik itu. Wanita itu melayani si licik yang penuh nafsu. Oh, pemandangan yang menjijikan. Tunggu dulu! Bukankah itu Miku, mantan istriku yang meninggalkanku demi seorang pria kaya, tiga bulan sebelum anakku meninggal terbunuh? Iya itu Miku. Miku memandang benci ke arahku sedangkan si licik itu tersenyum sinis dan puas.
Tuhan kuatkan aku. Dadaku sesak, kuambil pistol tadi dan kutarik pelatuknya kearah Miku. Tepat mengenai keningnya. Sebelum si licik melakukan perlawanan, kuambil pisau tadi kuarahkan dan kulempar ke jantung si licik itu. Aku tidak tahu mereka mati atau tidak.
“Tuhan, bukankah iblis harus dibinasakan?” tanyaku sebelum sebuah keributan besar kembali terjadi.